Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pembatasan ekspor rare earth berat oleh Beijing sejak April telah membuat sejumlah pabrik otomotif menghentikan operasi, memaksa Barat mempercepat langkah. Pada 30 Oktober, China sepakat menunda kontrol baru tersebut dalam kesepakatan dengan AS.
Perlombaan Mengamankan Rare Earth Berat
Proporsi rare earth berat dalam tambang global jauh lebih kecil dibanding unsur lainnya yang digunakan dalam magnet. Sementara kebutuhan dalam magnet permanen jauh lebih besar.
Kelangkaan ini tercermin dari harga dysprosium oksida di Rotterdam yang mencapai US$ 900/kg — lebih dari tiga kali harga di China (US$ 255/kg).
“Jika kita bicara sumber daya kritis, yang paling penting adalah rare earth berat — yang lainnya masih bisa dicari,” kata Erik Eschen, CEO Vacuumschmelze (VAC), salah satu produsen magnet rare earth non-China.
VAC telah menandatangani perjanjian suplai rare earth berat untuk pabriknya di Carolina Selatan, termasuk dengan Torngat Metals (Kanada) dan Aclara Resources (Brasil).
“Kapasitas kita di Barat memang terbatas, tapi kami berhasil mengamankan kebutuhan,” ujar Eschen.
Produksi magnet global di luar China dan Jepang diperkirakan mencapai 70.000 ton per tahun pada 2030—dan membutuhkan 1.650 ton dysprosium oksida setiap tahun, menurut Adamas Intelligence.
“Rare earth berat adalah kunci berikutnya untuk membuka produksi magnet Barat secara massal,” kata CEO Adamas, Ryan Castilloux.
Tonton: Danantara Ajak Menkeu Purbaya ke China Negosiasi Utang Whoosh
Meski kerja sama dan proyek baru terus bermunculan, produksi global di luar China diperkirakan hanya memenuhi 29% kebutuhan sektor otomotif dan energi angin pada 2035, menurut CRU.
“Untuk menutup kekurangan tersebut, dibutuhkan tambahan pasokan tambang baru dengan biaya produksi lebih tinggi,” kata analis CRU, Piyush Goel.
Proyek Baru Akan Memakan Waktu Bertahun-tahun
Banyak proyek penambangan dan fasilitas pemrosesan rare earth berat sedang dikembangkan, namun sebagian besar membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mulai beroperasi.
Dua pemain terbesar di Barat, MP Materials dan Lynas Rare Earths (Australia), kini mencari suplai tambahan karena kandungan rare earth berat di tambang mereka tidak cukup.
Lynas telah memulai pemisahan rare earth berat di Malaysia — menjadi produsen pertama di luar China.
Perusahaan tersebut mengumumkan rencana meningkatkan output hingga 250 ton dysprosium dan 50 ton terbium per tahun—namun belum menyebutkan jadwal pasti.
CEO Amanda Lacaze mengatakan sumber suplai akan berasal dari tambang Mt. Weld (Australia) dan Malaysia melalui kemitraan lokal.
Ini kontras dengan proyeksi CRU yang memperkirakan defisit suplai global mencapai 2.920 ton pada 2035 untuk dysprosium dan terbium oksida.
Perusahaan Australia lainnya, Iluka Resources, sedang membangun fasilitas pemurnian di Eneabba dengan kapasitas hingga 750 ton rare earth berat per tahun yang ditargetkan beroperasi pada 2027. Perusahaan telah menandatangani perjanjian pasokan dengan Northern Minerals, yang tambangnya dijadwalkan beroperasi pada 2028.
Kesimpulan
Barat sedang berusaha keras memutus ketergantungan pada China untuk pasokan dan pemrosesan rare earth berat—komponen kritis bagi industri pertahanan, kendaraan listrik, dan energi terbarukan. Namun meski investasi besar, kerja sama global, serta proyek baru terus berjalan, suplai rare earth berat di luar China masih sangat terbatas dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang. Hingga 2030–2035, dominasi China diperkirakan tetap kuat sehingga ketegangan geopolitik akan terus membayangi industri magnet strategis dunia.













