Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Respon Dunia dan Risiko Retaliasi
Trump menyebut akan memberi tahu Uni Eropa dalam dua hari ke depan mengenai tarif baru yang akan diberlakukan, namun juga mengatakan bahwa blok tersebut “bersikap sangat baik” dalam perundingan.
Uni Eropa sendiri berharap bisa mencapai kesepakatan sebelum 1 Agustus, termasuk konsesi di sektor ekspor unggulan seperti pesawat, alat kesehatan, dan minuman keras.
Baca Juga: Arah IHSG di Tengah Pemberlakuan Tarif Trump, Saham Defensif Jadi Pilihan?
Brussels juga mempertimbangkan mekanisme khusus untuk melindungi produsen mobil Eropa yang memiliki pabrik besar di AS.
Namun, Menteri Keuangan Jerman Lars Klingbeil memperingatkan bahwa Uni Eropa siap melakukan tindakan balasan jika kesepakatan adil tidak tercapai.
“Jika kami tidak mencapai kesepakatan dagang yang adil dengan AS, maka UE siap mengambil tindakan balasan,” ujarnya di parlemen Jerman.
Dari Jepang, negosiator perdagangan senior Ryosei Akazawa mengatakan, negaranya tidak akan mengorbankan sektor pertanian untuk mendapatkan konsesi di sektor otomotif, yang kini terancam tarif 25%.
Korea Selatan juga menyatakan akan mengintensifkan dialog perdagangan dalam beberapa pekan ke depan untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan.
Di sisi lain, kesepakatan kerangka dagang AS–China telah dicapai pada Juni lalu, namun masih banyak rincian yang belum jelas.
Investor kini menanti apakah kesepakatan itu akan runtuh sebelum tenggat 12 Agustus atau justru menjadi titik awal perdamaian dagang yang lebih langgeng.
Baca Juga: Trump Jadi Bahan Cela Usai Salah Sapa Presiden Bosnia di Surat Tarif Dagangnya
Daftar Negara dan Tarif Baru
Trump menyampaikan tarif baru yang akan dikenakan mulai 1 Agustus adalah:
- 25% untuk barang dari Tunisia, Malaysia, dan Kazakhstan
- 30% untuk Afrika Selatan dan Bosnia-Herzegovina
- 32% untuk Indonesia
- 35% untuk Serbia dan Bangladesh
- 36% untuk Kamboja dan Thailand
- 40% untuk Laos dan Myanmar
Kamboja menyambut baik penurunan tarif dari 49% menjadi 36% dan berharap bisa merundingkan pengurangan lebih lanjut, mengingat dampaknya terhadap sektor garmen dan alas kaki — tulang punggung ekonomi mereka.
Sementara itu, Bangladesh juga terancam karena lebih dari 80% pendapatannya dari ekspor berasal dari sektor garmen, yang mempekerjakan sekitar 4 juta orang dan sangat bergantung pada pasar AS.