Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - RIYADH. Ahmed al-Sharaa, mantan militan al-Qaeda yang kini menjabat sebagai presiden de facto Suriah, bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam sebuah pertemuan bersejarah di Arab Saudi pada Rabu (13/5).
Pertemuan ini menandai perubahan dramatis dalam perjalanan politik Sharaa dari pejuang jihad global menjadi kepala negara.
Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Mohammad al-Golani saat memimpin Front Nusra—sayap resmi al-Qaeda di Suriah—memasuki Damaskus sebagai pemimpin tertinggi pada Desember 2024, setelah kelompok Islamisnya menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Baca Juga: Pemerintah Baru Suriah Rekrut Pejuang Asing ke Dalam Angkatan Bersenjata
Kejatuhan Assad terjadi di tengah menurunnya dukungan dari Rusia dan Iran akibat konflik di berbagai kawasan.
Front Nusra memutus hubungan dengan al-Qaeda pada 2016 dan mulai mengubah orientasi perjuangannya dari jihad global menjadi bagian dari revolusi Suriah.
Setelah mengambil alih kekuasaan, Sharaa mengganti seragam tempurnya dengan jas dan dasi, berjanji membentuk pemerintahan yang inklusif dan adil serta meninggalkan praktik negara ala Assad.
Dalam wawancara dengan Reuters, Sharaa menyatakan niatnya untuk menyatukan kembali Suriah, memperbaiki ekonomi yang terpuruk akibat sanksi internasional, dan mengembalikan kewenangan negara atas senjata. Pemerintahannya mendapat dukungan dari Turki, Arab Saudi, dan Qatar.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Kelompok bersenjata belum menyerahkan senjata, konflik sektarian meningkat, dan konstitusi sementara memberikan kekuasaan luas kepada Sharaa.
Baca Juga: Harta Karun Peninggalan Bashar Al-Assad Ada Cadangan Emas 26 Ton di Bank Sentral
Pada Maret lalu, bentrokan antara loyalis Assad dan pasukan pemerintah di wilayah pesisir memicu pembunuhan balasan terhadap ratusan warga sipil Alawite, kelompok etnis Assad, yang memperkuat kekhawatiran akan akar ideologis jihadis dalam pemerintahan baru.
Israel turut menanggapi perkembangan ini dengan kekhawatiran. Serangan udara Israel pada 2 Mei dekat istana kepresidenan Damaskus disebut sebagai peringatan keras terhadap kemungkinan pengerahan pasukan Suriah di selatan dan ancaman terhadap komunitas minoritas Druze.
Saat ditanya mengenai penerapan hukum syariah, Sharaa menolak memberikan jawaban langsung dan menyatakan keputusan tersebut sebaiknya diserahkan kepada para ahli.
Ia mengklaim memiliki legitimasi revolusioner sebagai presiden sementara dan memperkirakan pemilu baru bisa digelar dalam lima tahun ke depan.
Baca Juga: Presiden Assad Terguling, Era Baru Dimulai di Suriah
Ahmed al-Sharaa lahir di Arab Saudi dan dibesarkan oleh ayahnya yang berideologi nasionalis Arab. Ia terpengaruh oleh Intifada Palestina Kedua pada tahun 2000 dan kemudian bergabung dengan al-Qaeda di Irak pada masa invasi AS pada 2003.
Ia ditugaskan kembali ke Suriah oleh Abu Omar al-Baghdadi untuk membangun kehadiran al-Qaeda di sana.
Pada 2013, Amerika Serikat menetapkan Sharaa sebagai teroris, menuduhnya melakukan serangan bom bunuh diri dan mempromosikan ideologi sektarian. Namun dalam wawancara terbaru, Sharaa mengaku menentang pembunuhan warga sipil dan menyatakan bahwa Front Nusra tidak pernah mengancam Barat secara langsung.
Pertemuan dengan Presiden Trump, yang dilakukan setelah pengumuman pencabutan sanksi AS terhadap Suriah, dinilai sebagai pencapaian besar dalam upaya Sharaa menormalisasi hubungan luar negeri dan memperkuat legitimasi kekuasaannya.
Baca Juga: Trump Cabut Sanksi Suriah dan Raih Investasi Raksasa dari Arab Saudi
Namun, masa depan Suriah di bawah kepemimpinannya masih sarat ketidakpastian di tengah warisan konflik, ketegangan sektarian, dan transisi politik yang belum tuntas.