Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BEIJING/WASHINGTON/LONDON. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kembali memanas. Pada Jumat (11/4), Beijing menaikkan tarif impor terhadap produk AS hingga 125% sebagai balasan atas kebijakan Presiden Donald Trump yang sebelumnya meningkatkan bea masuk barang asal China.
Langkah balasan ini memperburuk ketidakpastian ekonomi global yang sudah lebih dulu diguncang oleh kebijakan tarif Trump.
Meski bursa saham AS sempat ditutup menguat di akhir pekan yang fluktuatif, investor global justru berbondong-bondong mencari aset aman: harga emas mencetak rekor tertinggi, imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melonjak paling tajam sejak 2001, dan dolar AS tergelincir — sinyal bahwa kepercayaan terhadap pasar keuangan AS sedang goyah.
Baca Juga: Kaos Bisa Jadi Telur Baru di Amerika: Tarik Ulur Tarif Trump Ancam Lonjakan Inflasi
Sebuah survei konsumen di AS menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap inflasi melonjak ke level tertinggi sejak 1981, sementara sejumlah lembaga keuangan mulai mengerek proyeksi risiko resesi ke depan.
Namun Trump menepis kekhawatiran pasar. Dalam pernyataannya di Air Force One Jumat malam, ia justru optimistis, "Ketika orang mengerti apa yang sedang kita lakukan, saya yakin dolar akan menguat tajam."
Ia juga mengklaim pasar obligasi sudah kembali stabil, meskipun volatilitas sempat meningkat.
Gedung Putih menyebut lebih dari 75 negara telah menyatakan minat untuk bernegosiasi dengan AS.
India dan Jepang termasuk yang paling awal merespons, namun secara umum, banyak pemimpin dunia masih kebingungan menghadapi disrupsi terhadap tatanan perdagangan global yang tak pernah terjadi selama beberapa dekade terakhir.
Perang tarif yang saling balas antara dua ekonomi terbesar dunia ini berpotensi membuat perdagangan bilateral senilai lebih dari US$650 miliar pada 2024 menjadi tidak layak dilakukan.
Baca Juga: Uni Eropa Memutuskan untuk Tidak Membalas Tarif, Trump: Sangat Cerdas
"Presiden sudah jelas, jika Amerika dipukul, kami akan membalas lebih keras," tegas Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt.
Pasar pun bereaksi cepat. Dolar melemah, imbal hasil obligasi pemerintah AS naik, dan harga emas melonjak tajam.
Penurunan harga obligasi AS tenor 10 tahun mendorong imbal hasilnya ke posisi tertinggi dalam dua bulan terakhir — sebuah indikator penting yang turut menentukan suku bunga KPR dan pinjaman lainnya.
Leavitt menyebut, Menteri Keuangan Scott Bessent tengah memantau ketat pasar obligasi tersebut.
Sementara itu, data inflasi AS terbaru menunjukkan tekanan harga belum meluas, meskipun harga produsen untuk logam industri sudah mulai naik akibat tarif impor baja dan aluminium yang diberlakukan sebulan terakhir.
"Inflasi akibat tarif (tarifflation) akan jauh lebih penting bagi prospek ke depan daripada data historis," kata Bill Adams, Kepala Ekonom di Comerica Bank.
Baca Juga: Tak Ada Ampun! China Naikkan Tarif Produk AS dari 84% Menjadi 125% Mulai Sabtu Ini
"Jika tarif ini bertahan, inflasi bisa melonjak tajam dalam beberapa bulan ke depan."
Universitas Michigan melaporkan bahwa Indeks Sentimen Konsumen jatuh ke angka 50,8 bulan ini, dari 57,0 pada Maret.
Ini bahkan lebih rendah dari proyeksi ekonom di angka 54,5. Yang mengejutkan, penurunan keyakinan juga terjadi di kalangan pendukung Partai Republik sendiri.
Ekspektasi inflasi 12 bulan ke depan melonjak ke 6,7%, tertinggi sejak 1981, dari 5,0% bulan lalu.
AS-China di Ambang Pemutusan Dagang Total
Trump pekan ini mengumumkan jeda tarif 90 hari untuk puluhan negara mitra, namun pada saat yang sama meningkatkan tarif terhadap produk China hingga 145%.
China langsung membalas pada Jumat dengan tarif serupa dan menyebut langkah AS sebagai tindakan "bullying sepihak yang tidak bisa diterima."
Baca Juga: Takut Kena Dampak Tarif Trump, Konsumen Berbondong-bondong Beli iPhone 16 Sekarang!
Kementerian Keuangan China mengisyaratkan bahwa ini mungkin menjadi pembalasan terakhir dalam bentuk tarif, namun membuka kemungkinan bentuk pembalasan lain ke depan.
"Jika AS sungguh ingin bernegosiasi, hentikan dulu sikap impulsif dan merusak ini," tulis Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di AS, melalui media sosial.
"China tidak akan pernah tunduk pada tekanan maksimal AS."
Analis UBS menyebut pernyataan Beijing sebagai "pengakuan bahwa perdagangan antara kedua negara pada dasarnya telah terputus."
Namun Leavitt memperingatkan China "Jika mereka terus membalas, itu justru akan merugikan mereka sendiri."
Baca Juga: Tesla Stop Penjualan 2 Model Mobil Mewahnya di China, Apa Sebabnya?
Trump sendiri masih membuka pintu diplomasi, menyebut dirinya menghormati Presiden China Xi Jinping.
Namun Xi dalam pertemuan dengan PM Spanyol Pedro Sanchez menyindir "China dan Uni Eropa seharusnya bersama-sama menentang aksi sepihak yang bersifat membully."_