Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Setelah reli panas sepanjang musim panas, kini pasar kripto tampak kembali memasuki “musim dingin”. Harga Bitcoin kembali jadi sorotan karena pergerakannya yang cepat—namun kali ini, tidak sepenuhnya ke arah positif.
Pertanyaannya kini, apakah saat ini waktu yang tepat untuk membeli di harga diskon, atau justru bersiap menghadapi penurunan lebih lanjut?
Melansir 24/7 Wall Street, setelah sempat menyentuh level US$ 100.000, harga Bitcoin kini berada di titik tengah antara US$ 75.000 dan US$ 125.000. Namun, arah mana yang akan dicapai lebih dulu masih jadi perdebatan. Melihat aliran dana institusional bisa memberi petunjuk penting soal langkah Bitcoin berikutnya.
Perjalanan Liar Bitcoin Menuju US$ 100.000
Level US$ 100.000 kini menjadi medan pertempuran utama antara pembeli dan penjual Bitcoin. Angka dengan banyak nol itu punya makna psikologis yang kuat bagi para pelaku pasar kripto dan terus diawasi ketat oleh para trader.
Sejak awal 2025 hingga awal November, pergerakan Bitcoin sangat fluktuatif. Harganya sempat turun ke US$ 75.000, lalu melonjak hingga US$ 126.000 pada awal Oktober. Namun, harapan bahwa Oktober akan menjadi “Uptober” pupus ketika harga Bitcoin kembali terkoreksi ke US$ 100.000, menandai pergerakan bolak-balik sejak awal tahun.
Prediksi harga ke depan pun beragam. Analis Standard Chartered, Geoffrey Kendrick, termasuk yang optimistis. Ia menyebut penurunan harga di bawah US$ 100.000 baru-baru ini mungkin menjadi yang terakhir kalinya.
Baca Juga: Analis Peringatan Koreksi Bitcoin Bisa Dipicu oleh Kepentingan Pribadi Trader
Menurut Kendrick, jika keuangan terdesentralisasi (decentralized finance/DeFi) benar-benar menggantikan sistem keuangan tradisional, maka target jangka panjang Bitcoin bisa jauh lebih tinggi dari US$ 125.000. Meski begitu, ada sejumlah faktor negatif yang masih perlu diwaspadai.
Apa Penyebab Koreksi Bitcoin?
Sulit menentukan penyebab pasti dari penurunan harga Bitcoin belakangan ini. Salah satu pemicunya diduga adalah penutupan pemerintahan AS (government shutdown), sementara penguatan nilai dolar AS juga turut memberi tekanan.
Kedua faktor itu saling berkaitan: penguatan dolar sering mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap ketidakpastian fiskal. Selain itu, ada pula kekhawatiran bahwa saham-saham teknologi sudah terlalu mahal, dan banyak investor mengelompokkan aset kripto seperti Bitcoin dalam kategori yang sama dengan saham teknologi berisiko tinggi.
Analis Citigroup menambahkan bahwa kondisi likuiditas yang mengetat juga menekan pasar kripto. Departemen Keuangan AS memperkuat kas pemerintah, yang secara tidak langsung menyedot likuiditas dari sistem perbankan dan menekan aset berisiko seperti Bitcoin. Namun, Citigroup memperkirakan likuiditas akan segera membaik—faktor yang bisa kembali mengangkat harga Bitcoin.
Baca Juga: Harga Bitcoin Anjlok ke US$103.000, Pasar Waspadai Koreksi di Bawah US$100.000
Pendiri sekaligus Kepala Riset Fundstrat Global Advisors, Thomas “Tom” Lee, menilai Bitcoin sangat sensitif terhadap kondisi likuiditas pasar dan persepsi investor terhadap risiko. Ia juga menyoroti faktor dari penutupan pemerintahan AS dan sikap hawkish bank sentral sebagai penyebab utama tekanan harga.
Namun, Lee tetap optimistis. “Ketika hambatan-hambatan ini terselesaikan, hal tersebut akan berubah menjadi angin pendorong,” ujarnya.













