Sumber: Telegraph | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Donald Trump dan Vladimir Putin menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky agar segera menyetujui proposal perdamaian mereka sebelum hari Kamis (27/11/2025). Jika tidak, Ukraina diancam akan menghadapi kekalahan tanpa dukungan militer dari AS.
Melansir The Telegraph, Trump menyebut tenggat waktu itu sebagai sesuatu yang “tepat”, sementara sejumlah pejabat Washington menegaskan bahwa Amerika Serikat akan menghentikan suplai senjata dan intelijen jika Ukraina menolak kesepakatan tersebut.
Sementara itu, Putin menyebut bahwa “Ukraina dan sekutu Eropanya” masih “bermimpi” bisa mengalahkan Rusia di medan perang. Ia memperingatkan bahwa pasukan Rusia siap memperluas wilayah kekuasaan jika proses perundingan gagal.
Putin mengatakan:
“Jika Kyiv tidak mau membahas usulan Presiden Trump, dan menolak melakukannya, maka Kyiv dan para pengobar perang di Eropa harus memahami bahwa apa yang terjadi di Kupiansk akan terulang di sektor-sektor penting lain di garis depan.”
Pernyataan ini membuat sejumlah pemimpin Eropa bergerak cepat menggelar pertemuan darurat untuk mencari respons bersama.
Baca Juga: Bahas Akhiri Perang dengan Rusia, Ukraina Akan Bertemu AS di Swiss
Beberapa pejabat Uni Eropa mengaku terkejut karena tidak diberi informasi sejak awal. Zelensky ikut dalam panggilan dengan para pemimpin Eropa dan memperingatkan bahwa Ukraina berisiko kehilangan Amerika Serikat sebagai sekutu militer jika menolak kesepakatan tersebut.
Proposal ini, yang pertama kali dipublikasikan lengkap oleh The Telegraph, berisi sejumlah poin berat bagi Ukraina. Di dalamnya tercantum syarat menyerahkan wilayah Luhansk dan Donetsk, mengurangi drastis kekuatan militernya, serta menghentikan ambisi bergabung dengan NATO.
Dua pejabat Ukraina yang tak ingin disebut namanya menggambarkan usulan itu sebagai “mengerikan” dan “sangat buruk.”
Selain itu, kesepakatan tersebut akan memaksa NATO menghentikan ekspansi anggota baru dan membuka kembali negosiasi dengan Rusia mengenai keamanan Eropa.
Trump mengatakan Zelensky pada akhirnya harus menerima kesepakatan itu, meski hasilnya tidak ideal.
Ia mengatakan dari Oval Office:
“Dia pada akhirnya harus menerimanya. Kalau dia tidak suka, ya silakan terus berperang. Pada titik tertentu, dia harus menerima sesuatu yang selama ini tidak mau diterima. Ingat, saya pernah bilang: ‘Kamu tidak memegang kartu truf-nya.’”
Baca Juga: Rusia Klaim Kuasai Kupiansk, Ukraina Bantah Kehilangan Kota Strategis
Dalam pidato yang direkam di jalanan Kyiv, Zelensky menyebut situasi ini sebagai salah satu masa paling sulit dalam sejarah Ukraina.
“Sekarang adalah salah satu momen tersulit dalam sejarah kita,” katanya.
Ia menggambarkan pilihan ini sebagai keputusan antara “kehilangan martabat atau risiko kehilangan mitra utama.”
Sebelumnya, Zelensky menggelar panggilan darurat dengan pemimpin Inggris, Prancis, dan Jerman yang tengah berada di Afrika Selatan untuk agenda G20.
Sejumlah pejabat Eropa menyampaikan ketidaksiapan menghadapi agenda perundingan sepihak ini. Satu sumber Barat mengungkap bahwa negara-negara Eropa mengetahui isi proposal hanya melalui bocoran media.
Ironisnya, pada saat yang sama, para duta besar NATO sedang berada di Laplandia, Finlandia — menikmati sauna dan mencebur ke sungai es — saat isi kesepakatan dipublikasikan.
Menjelang pertemuan lanjutan, Jerman menegaskan bahwa garis kontak terakhir harus menjadi basis negosiasi, dan Ukraina harus tetap memiliki kemampuan mempertahankan kedaulatannya.
Prancis menambahkan bahwa keputusan apa pun harus disetujui bersama oleh negara-negara NATO dan Uni Eropa.
Inggris memilih berhati-hati dan tidak langsung mengecam rencana Amerika Serikat.
Tonton: Serangan Drone Ukraina Hancurkan Fasilitas Minyak Rusia
Juru bicara Perdana Menteri mengatakan:
“Semua keputusan terkait Ukraina harus ditentukan oleh Ukraina. Kita semua menginginkan perdamaian yang adil dan bertahan lama. Itu juga yang diinginkan Presiden Amerika. Jadi kita perlu bergerak menuju tujuan itu.”
Sementara itu, negara-negara Eropa Timur — yang paling dekat dengan potensi ancaman Rusia — menunjukkan penolakan keras.
Perdana Menteri Polandia, Donald Tusk, mengatakan:
“Semua keputusan mengenai Polandia harus diputuskan oleh Polandia. Tidak boleh ada keputusan tentang Ukraina tanpa melibatkan Ukraina.”
Menteri luar negeri Estonia menegaskan bahwa perdamaian tidak bisa dicapai tanpa Ukraina dan Eropa di meja perundingan.
Mantan Menteri Luar Negeri Lithuania bahkan menyebut proposal itu sebagai “akhir dari akhir” untuk kedaulatan Eropa.
Bahkan Nigel Farage — yang dikenal dekat dengan Trump — menyatakan keberatan. Ia menilai permintaan agar Ukraina mengurangi separuh kekuatan militernya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
Kesimpulan
Proses diplomasi ini menggambarkan situasi geopolitik yang rumit: AS dan Rusia terlihat mencoba menentukan masa depan Ukraina tanpa melibatkan sepenuhnya sekutu Eropa. Proposal perdamaian tersebut cenderung lebih menguntungkan Rusia, sementara bagi Ukraina, penerimaannya bisa berarti kehilangan wilayah, kedaulatan militer, dan posisi tawarnya. Eropa tampak terkejut dan terpecah, sementara Ukraina berada di titik krisis: memilih bertahan dengan risiko hilangnya dukungan, atau menyetujui perjanjian yang bisa dianggap menyerah. Keputusan ini dapat menentukan peta keamanan Eropa untuk beberapa dekade ke depan.













