Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sedikitnya delapan warga Palestina, sebagian besar anak-anak, tewas dan belasan lainnya luka-luka dalam sebuah serangan udara Israel di kamp pengungsi Nuseirat, Gaza tengah, pada Minggu (15/6). Mereka dilaporkan sedang mengantre untuk mengambil air bersih, di tengah krisis kemanusiaan yang terus memburuk di wilayah tersebut.
Menurut militer Israel, serangan tersebut ditujukan untuk menargetkan seorang militan Jihad Islam, namun misil jatuh “puluhan meter dari target” akibat kegagalan teknis. “IDF menyesalkan jatuhnya korban sipil yang tidak terlibat,” demikian pernyataan militer, sembari menyatakan insiden sedang dalam penyelidikan.
Titik Distribusi Air Jadi Sasaran
Dokter darurat di RS Al-Awda, Dr. Ahmed Abu Saifan, mengungkapkan bahwa enam anak-anak tewas di tempat, sementara 17 lainnya terluka ketika misil menghantam titik distribusi air. Krisis air di Gaza semakin parah dalam beberapa pekan terakhir akibat kekurangan bahan bakar yang membuat fasilitas desalinasi dan sanitasi berhenti beroperasi. Warga pun bergantung pada pusat distribusi air untuk kebutuhan sehari-hari.
Beberapa jam kemudian, 12 orang tewas dalam serangan udara lain di sebuah pasar di Kota Gaza, termasuk konsultan rumah sakit terkemuka, Dr. Ahmad Qandil, menurut laporan media Palestina. Militer Israel belum memberikan komentar atas serangan tersebut.
Baca Juga: Rudal Israel Tewaskan Anak-Anak Pengambil Air di Gaza, IDF Sebut Kesalahan Teknis
Lebih dari 58.000 Warga Gaza Tewas
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah korban jiwa sejak perang dimulai pada Oktober 2023 telah menembus 58.000 jiwa, dengan 139 korban baru dalam 24 jam terakhir. Data tersebut tidak memisahkan antara warga sipil dan kombatan, namun lebih dari setengahnya adalah perempuan dan anak-anak.
Utusan Presiden AS Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengatakan bahwa ia “optimistis” terhadap negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung di Qatar. Berbicara di New Jersey, ia mengonfirmasi akan bertemu pejabat tinggi Qatar di sela-sela final Piala Dunia Antarklub FIFA.
Namun, harapan terhadap gencatan senjata semakin memudar seiring kebuntuan yang terjadi. Perselisihan utama terletak pada seberapa jauh pasukan Israel akan ditarik dari wilayah Gaza.
Sumber dari Palestina dan Israel menyebutkan bahwa kedua pihak masih belum mencapai kata sepakat, terutama terkait peta penarikan pasukan yang dianggap Hamas akan tetap meninggalkan sekitar 40% wilayah Gaza di bawah kendali Israel — termasuk seluruh wilayah Rafah.
Netanyahu: Tak Akan Menyerah dari Tiga Tuntutan Utama
Dalam pernyataan video yang diunggah di Telegram, PM Benjamin Netanyahu menegaskan Israel tidak akan mundur dari tiga tuntutan utama: pembebasan semua sandera, penghancuran Hamas, dan jaminan bahwa Gaza tidak akan pernah menjadi ancaman bagi Israel lagi.
Perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023 itu dilatarbelakangi oleh serangan Hamas ke wilayah Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang. Dari sisa 50 sandera yang diyakini masih berada di Gaza, sekitar 20 orang diperkirakan masih hidup.
Keluarga para sandera kembali melakukan aksi di depan kantor Netanyahu di Yerusalem, mendesak pemerintah agar segera mencapai kesepakatan damai.
“Mayoritas warga Israel telah menyatakan dengan jelas bahwa mereka ingin kesepakatan damai, bahkan jika itu berarti mengakhiri perang sekarang,” ujar Jon Polin, ayah dari Hersh Goldberg-Polin yang tewas dalam tahanan Hamas pada Agustus 2024.
Baca Juga: Kebuntuan Perundingan Israel-Hamas, Gencatan Senjata di Gaza Terancam Gagal
Rencana Kontroversial Relokasi Massal ke Rafah
Netanyahu dan para menterinya juga sedang mempertimbangkan rencana relokasi ratusan ribu warga Gaza ke wilayah Rafah selatan, yang disebut Menteri Pertahanan Israel Israel Katz sebagai “kota kemanusiaan baru.” Namun, rencana ini diprediksi akan memicu kecaman internasional karena dianggap sebagai pemindahan paksa penduduk sipil.
Sumber Israel menyebutkan bahwa kompleks ini akan dibangun selama masa gencatan senjata — jika kesepakatan berhasil dicapai.
Sementara itu, di tengah serangan tanpa henti, warga Gaza mengatakan tak ada tempat yang benar-benar aman. Serangan misil pada Minggu dini hari menghantam sebuah rumah di Kota Gaza tempat sebuah keluarga berlindung setelah menerima perintah evakuasi dari selatan.
“Bibi saya, suaminya, dan anak-anak mereka telah tiada. Apa kesalahan anak-anak yang meninggal dalam pembantaian berdarah ini?” kata Anas Matar.