Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas di Doha untuk mencapai gencatan senjata selama 60 hari di Gaza mengalami kebuntuan.
Sumber dari pihak Palestina dan Israel yang terlibat dalam negosiasi mengungkapkan bahwa perbedaan tajam mengenai sejauh mana pasukan Israel harus mundur dari wilayah Gaza menjadi titik krusial yang menghambat kemajuan.
Perselisihan Soal Penarikan Pasukan Israel
Negosiasi yang telah berlangsung selama tujuh hari itu difokuskan pada proposal Amerika Serikat untuk menghentikan sementara perang dan membebaskan sandera secara bertahap. Namun, hingga Sabtu, belum tercapai kesepakatan.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyatakan harapannya akan ada terobosan dalam waktu dekat melalui proposal baru yang didukung Washington.
Baca Juga: Serangan Israel di Dekat Klinik Gaza Tewaskan 10 Anak, Gencatan Senjata Masih Buntu
Seorang pejabat Israel menyalahkan kebuntuan pada Hamas yang dianggap tetap bersikukuh dengan posisi yang "tidak memungkinkan mediator untuk mencapai kesepakatan".
Sebaliknya, Hamas menuding tuntutan Israel sebagai penghalang utama, terutama terkait peta penarikan pasukan yang masih meninggalkan sekitar 40% wilayah Gaza—termasuk seluruh Rafah—di bawah kendali militer Israel.
Hamas menuntut agar Israel mundur ke garis perbatasan yang berlaku pada gencatan senjata sebelumnya sebelum ofensif dilanjutkan pada Maret lalu.
Tragedi Penembakan Saat Distribusi Bantuan, 17 Tewas
Di tengah kemacetan diplomatik, tragedi kemanusiaan kembali terjadi. Pada Sabtu pagi, setidaknya 17 warga Palestina dilaporkan tewas ketika tentara Israel melepaskan tembakan di titik distribusi bantuan di Rafah. Menurut petugas medis Gaza, korban adalah warga sipil yang sedang mencari bantuan pangan di tengah kelaparan yang meluas.
Sejumlah saksi mata menggambarkan situasi mencekam saat tembakan diarahkan langsung ke arah kerumunan.
“Penembakan berlangsung selama lima menit. Itu bukan tembakan sembarangan, orang-orang ditembak di kepala dan dada,” kata Mahmoud Makram kepada Reuters.
Militer Israel mengklaim bahwa pasukannya hanya melepaskan tembakan peringatan dan tidak menemukan bukti korban luka akibat tembakan mereka. Namun, laporan lapangan dan jenazah-jenazah yang dibungkus kafan putih di Rumah Sakit Nasser menyampaikan narasi berbeda.
Sistem Distribusi Bantuan yang Dianggap Berbahaya
Insiden Rafah adalah yang terbaru dari serangkaian insiden serupa sejak Israel memperkenalkan sistem distribusi bantuan baru pada akhir Mei, bekerja sama dengan kelompok yang didukung AS dan dikawal tentara Israel.
Namun, sistem ini ditolak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyebutnya berbahaya dan melanggar prinsip netralitas kemanusiaan.
Baca Juga: Israel: Gencatan Senjata di Gaza Bisa Terwujud, Tapi Butuh Waktu
Menurut Kantor HAM PBB, lebih dari 798 orang telah tewas dalam enam minggu terakhir saat mencoba mendapatkan bantuan makanan.
“Tidak ada belas kasihan di sana. Orang pergi karena lapar, tapi pulang dalam kantong jenazah,” kata Makram.
Krisis Kemanusiaan di Gaza Makin Parah
Sejak perang pecah pada 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerang Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang serta menculik 251 lainnya, serangan balasan Israel telah menghancurkan Gaza. Lebih dari 57.000 warga Palestina dilaporkan tewas, sebagian besar warga sipil, dan hampir seluruh penduduk lebih dari dua juta orang kini mengungsi.
Di tengah penderitaan yang terus berlangsung, ribuan warga Israel menggelar unjuk rasa di Tel Aviv pada Sabtu malam. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mencapai kesepakatan pembebasan sandera.
“Kami ke sini untuk menekan pemerintah agar segera mencapai kesepakatan. Teman-teman dan saudara-saudara kami masih di Gaza. Saatnya perang ini diakhiri,” ujar Boaz Levi, salah satu demonstran.