Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KRISIS EKONOMI CHINA - Perekonomian China kini tengah berisiko mengalami stagnasi yang berkepanjangan. Apalagi ditambah dengan krisis properti yang mengancam stabilitas keuangan.
Bersamaan dengan hal itu, ada kegelisahan yang meningkat terkait mengapa para pemimpinnya tidak terburu-buru untuk menghidupkan kembali ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Bahkan di negara yang terkenal dengan pengambilan keputusan yang buram dan berlarut-larut, investor, analis, dan diplomat menunjuk pada tanda-tanda bahwa Beijing tampaknya ragu untuk mengambil kebijakan berani yang diperlukan untuk menopang pemulihan ekonomi pasca-COVID.
Ini bukan hanya masalah ekonomi tetapi masalah geopolitik.
Melansir Reuters, Presiden AS Joe Biden pada pekan lalu menyebut China sebagai "bom waktu yang berdetak" karena ekonominya yang sakit. Menurut Biden, itu tidak baik karena ketika orang jahat punya masalah, mereka melakukan hal buruk.
Jadi mengapa tanggapan China begitu lambat?
Pandangan beberapa pengamat China adalah bahwa fokus Presiden Xi Jinping pada keamanan nasional bertentangan dengan upaya pemulihan ekonomi. Hal itu membuat dana asing yang ingin masuk ke Beijing menjadi tertahan.
Baca Juga: Bank-Bank Besar China Aktif Jual Dolar AS untuk Membeli Yuan di London dan New York
"Masalah inti tahun ini adalah bahwa kepemimpinan telah memberikan instruksi tingkat tinggi yang tidak jelas kepada para pejabat untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keamanan nasional," kata Christopher Beddor, wakil direktur penelitian China di Gavekal Dragonomics.
Dia menambahkan, "Jika pejabat tidak yakin dengan apa yang diinginkan pimpinan, mereka cenderung menunda tindakan apa pun sampai mereka menerima lebih banyak informasi. Hasilnya adalah kelumpuhan kebijakan, bahkan jika itu harus dibayar mahal."
Analis lainnya mengatakan, ada keragu-raguan Partai Komunis terhadap langkah-langkah yang dapat mengalihkan kekuasaan dari negara ke sektor swasta. Selain itu, pemerintahan yang banyak diisi oleh loyalis Xi, mungkin menghambat kebijakan untuk mendongkrak perekonomian.
Yang pasti, perubahan di China dapat memakan waktu, seperti yang dilakukan Beijing untuk mempertahankan pembatasan COVID-19 yang merusak secara ekonomi hampir sepanjang tahun lalu.
Baca Juga: China ke Wapres Taiwan: Kemerdekaan Berarti Perang!
Ekonom mengatakan, China membutuhkan langkah-langkah untuk meningkatkan konsumsi dan kepercayaan bisnis. Misalnya saja pemotongan pajak atau voucher konsumsi yang didanai pemerintah. Akan tetapi, mereka menambahkan bahwa tidak seperti perlambatan sebelumnya, tidak ada perbaikan cepat yang dilakukan.
China membalas kritik atas tanggapannya.
"Sejumlah kecil politisi dan media Barat memperkuat dan membesar-besarkan masalah sementara yang ada dalam pemulihan ekonomi China," kata juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin kepada media pada hari Rabu.
Wenbin mengatakan, "Mereka pada akhirnya akan ditampar oleh kenyataan."
Komentar Wang muncul setelah data aktivitas ekonomi yang lemah pada hari Selasa memicu kekhawatiran bahwa China sedang menuju pelambatan yang lebih dalam dan lebih lama.
Selain itu, Pemerintah China juga telah menangguhkan rilis data pengangguran kaum muda, yang telah mencapai rekor tertinggi, yang menurut para analis sebagian merupakan dampak dari tindakan keras aturan terhadap pengusaha besar di sektor teknologi, pendidikan, real estat dan keuangan.
Tanpa memberikan perincian, Dewan Negara pada hari Kamis mengatakan akan "mengoptimalkan" lingkungan untuk perusahaan swasta dan melakukan upaya lebih besar untuk menarik investasi asing. Sektor swasta menyumbang 60% dari produk domestik bruto dan 80% dari pekerjaan perkotaan, kata para pejabat.
Baca Juga: Ini Tanda-Tanda Ekonomi China Tengah Mengalami Krisis
Tetapi, menurut diplomat China, ada ketidaksinambungan yang tumbuh antara pejabat yang menyerukan investasi dan tindakan keras keamanan nasional yang merusak kepercayaan bisnis.
Salah satu contohnya adalah undang-undang anti-spionase baru-baru ini, disertai dengan penggerebekan di beberapa perusahaan konsultan asing, yang mengirimkan gelombang kecemasan melalui komunitas bisnis asing.
Kementerian perdagangan China sempat menggelar pertemuan dengan pelaku bisnis asing pada bulan Juli untuk mengatakan undang-undang tersebut memberikan jaminan bagi perusahaan yang beroperasi di China. Menurut seorang diplomat dan sumber lain yang diberi pengarahan pada pertemuan tersebut, hal itu tidak perlu menjadi perhatian. Keduanya menolak untuk diidentifikasi.
Namun jaminan itu hanya menggarisbawahi "kesenjangan persepsi yang signifikan" antara pemerintah dan bisnis asing, kata diplomat itu.
Baca Juga: Mata Uang BRICS Bisa Menggantikan Dolar AS? Ekonom Nilai Itu Konyol
Kementerian tidak segera menanggapi permintaan komentar.
"Apa yang benar-benar didengar orang adalah 'kami terbuka untuk bisnis, tetapi hanya dengan persyaratan kami'," kata Lee Smith, seorang pengacara perdagangan di Baker Donelson yang sebelumnya bekerja di Departemen Perdagangan AS tentang kebijakan perdagangan yang memengaruhi bisnis dengan China.
Xu Chenggang, seorang sarjana di Pusat Ekonomi dan Institusi China Universitas Stanford, menilai, mungkin ada alasan yang lebih mendalam mengapa para pemimpin China tidak terburu-buru dengan langkah-langkah untuk meningkatkan kepercayaan pada sektor swasta.
"Ketakutan abadi Partai Komunis China adalah bisa terjadi kudeta jika kapitalisme dan ekonomi swasta tumbuh cukup kuat," kata Xu.
Xu mengatakan pemikiran seperti itu mencolok di bawah Xi, yang telah memadamkan perbedaan pendapat selama satu dekade berkuasa dan menumpuk pemerintahannya dengan loyalis setelah mengamankan masa jabatan ketiga yang memecahkan preseden tahun lalu.
Baca Juga: Dipicu Ekspor, Ekonomi Jepang Tumbuh Jauh Lebih Cepat pada Kuartal II
Sehari setelah data ekonomi yang buruk pada minggu ini, jurnal resmi Partai menerbitkan pidato dari Xi di mana dia memperingatkan bahaya atas model ekonomi kapitalis Barat. Pidato yang disampaikan pada bulan Februari, tidak menyebutkan ketidakseimbangan struktural atau bagaimana menyelesaikannya.
"Kita semua mungkin harus hidup dengan ekonomi yang kurang bersemangat untuk waktu yang lama," kata Xu.