Reporter: Amanda Christabel | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Evergrande, salah satu pengembang real estate terbesar di China pada minggu ini harus membayar bunga pinjaman yang jatuh tempo ke beberapa bank. Namun, seperti dikutip dari Bloomberg, bank-bank besar dikabarkan belum menerima pembayaran tersebut.
Pembayaran bunga dengan total lebih dari US$ 100 juta itu akan jatuh tempo pada akhir pekan ini untuk dua obligasi Evergrande. Perusahaan yang berbasis di Kota Shenzhen, China Selatan ini mempekerjakan sekitar 200.000 orang dan secara tidak langsung memberikan lebih dari 3,8 juta pekerjaan setiap tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir, utang Evergrande menggelembung karena perusahaan ini meminjam uang untuk membiayai berbagai kegiatannya. Grup ini mendapatkan reputasi buruk karena menjadi developer di China yang paling memiliki utang besar, dengan kewajiban utang senilai lebih dari US$ 300 miliar.
Selama beberapa minggu terakhir, Evergrande memberi tahu investor tentang masalah arus kas dan perusahaan bisa gagal bayar jika tidak dapat mengumpulkan uang dengan cepat. Evergrande mengungkapkan dalam pengajuan bursa bahwa mereka mengalami kesulitan menemukan pembeli untuk beberapa asetnya.
Baca Juga: Evergrande punya utang ke 128 bank, ini bank yang punya eksposure tertinggi
Menurut para ahli, dalam beberapa hal ambisi, sikap agresif Evergrande yang membuatnya terjerumus. Direktur Unit Intelijen Ekonomi China, Mattie Bekink bilang Evergrande menyimpang jauh dari bisnis intinya.
Analis Goldman Sachs mengatakan, struktur Evergrande juga membuatnya sulit untuk memastikan gambaran yang lebih tepat tentang pemulihan Evergrande. Mengutip dari CNN, hal ini lantaran kompleksitas Evergrande Group dan kurangnya informasi yang memadai tentang aset dan kewajiban perusahaan.
Masalah serupa rupanya bukan hal baru, karena di 2020 banyak perusahaan asal China yang gagal membayar pinjaman. Hal ini meningkatkan kekhawatiran terkait ketergantungan perusahaan China pada investasi dengan berutang untuk mendukung pertumbuhan bisnisnya.
Kepala Ekonom Asia Capital Economics, Mark Williams mengatakan, anjloknya saham Evergrande akan menjadi ujian terbesar yang dihadapi sistem keuangan di China selama bertahun-tahun. Dirinya bilang, akar permasalahan dari Evergrande adalah permintaan properti dan hunian di China mengalami masa penurunan yang berkelanjutan.
Runtuhnya Evergrande telah membuat investor memusatkan perhatian pada dampak gelombang default pengembang properti terhadap pertumbuhan ekonomi China.
Evergrande masih belum bisa menemukan pembeli untuk saham bisnis kendaraan listrik dan layanan propertinya. Evergrande juga telah mencoba menjual aset menara kantornya di Hong Kong, yang dibeli dengan harga sekitar US$ 1,6 miliar pada 2015.
Sejumlah demonstran mendatangi kantor pusat Evergrande. Pemegang saham telah waspada selama berbulan-bulan, karena saham Evergrande merosot lebih dari 80% di tahun ini. Situasi ini juga berdampak pada investor di China secara lebih luas.
Indeks Hang Seng (HSI) pada Senin (20/9) turun 3,3%, penurunan terburuk dalam hampir dua bulan, karena bank-bank China, perusahaan asuransi dan perusahaan real estate lainnya terpukul.
Masalah keuangan Evergrande telah secara luas dijuluki oleh media China sebagai "lubang hitam besar", yang menyiratkan bahwa tidak ada jumlah uang yang dapat menyelesaikan masalah tersebut.
"Kami pada akhirnya berharap bahwa pemerintah akan campur tangan dalam kasus Evergrande, karena mereka tidak akan membiarkan default perusahaan ini menyebar ke sistem perbankan. Dampak dari default besar oleh Evergrande akan luar biasa," kata Bekink.