Sumber: Fox Business | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Toyota Motor Corporation, produsen mobil terbesar di dunia berdasarkan volume penjualan, memperkirakan akan mengalami kerugian sebesar 180 miliar yen (sekitar US$1,3 miliar/Rp 21,5 triliun) hanya dalam dua bulan pertama akibat tarif otomotif yang diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Prediksi ini disampaikan dalam konferensi pers terkini dan mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap ketidakpastian kebijakan perdagangan AS di bawah pengaruh politik yang terus berubah.
Laba Toyota Diperkirakan Turun 20 Persen: Proyeksi Keuangan Tahun Fiskal 2025
Toyota mencatatkan laba tahunan tertinggi dalam sejarah perusahaan pada tahun fiskal sebelumnya, namun untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2026, perusahaan memperkirakan penurunan laba operasional sekitar 20 persen.
Total laba operasional diperkirakan turun menjadi 3,8 triliun yen (sekitar US$26 miliar), dibandingkan dengan 4,8 triliun yen (sekitar US$33 miliar) pada tahun sebelumnya.
Penurunan ini disebabkan oleh kombinasi antara dampak langsung tarif ekspor-impor dan volatilitas nilai tukar mata uang asing, yang menurut Toyota akan menimbulkan dampak negatif hingga 745 miliar yen terhadap laporan keuangan tahun ini.
Baca Juga: Trump Janji Tingkatkan Perdagangan dengan India dan Pakistan Pasca Gencatan Senjata!
Ketidakpastian Tarif dan Fluktuasi Mata Uang Membebani Toyota
Dalam pernyataannya, CEO Toyota, Koji Sato, menegaskan bahwa nasib tarif otomotif di masa mendatang bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan oleh perusahaan.
Ketidakpastian geopolitik dan kebijakan perdagangan AS menciptakan iklim bisnis yang tidak stabil bagi produsen otomotif global, terutama yang memiliki pangsa pasar signifikan di Amerika Utara.
Fluktuasi nilai tukar, khususnya pelemahan dolar AS, turut menjadi faktor utama yang memengaruhi proyeksi laba Toyota. Sebagai perusahaan yang memperoleh sebagian besar pendapatannya di AS, penguatan yen terhadap dolar berarti pendapatan dalam mata uang asing akan bernilai lebih rendah ketika dikonversikan ke yen Jepang.
Risiko Terhadap Harga Mobil dan Sentimen Konsumen
Para analis industri memperingatkan bahwa tarif tambahan dapat memicu kenaikan harga kendaraan di pasar AS, yang berpotensi memicu penurunan permintaan akibat terbatasnya daya beli konsumen.
Christopher Richter, analis otomotif dari perusahaan sekuritas CLSA, menyatakan bahwa lonjakan pembelian mobil baru saat ini di AS lebih disebabkan oleh kepanikan konsumen yang ingin menghindari kenaikan harga, bukan oleh pertumbuhan permintaan yang berkelanjutan.
“Saat ini pasar AS terlihat sangat positif, tetapi itu bisa jadi ilusi. Jika tarif ini terus berlanjut, produsen mobil tidak punya pilihan selain menaikkan harga,” ujar Richter.
Baca Juga: Ingin Tinggal di AS Tanpa Ribet? Trump Tawarkan Visa 'Gold Card' Senilai US$5 Juta
Kinerja Kuartal I: Laba Operasional Stagnan
Toyota melaporkan laba operasional kuartal pertama sebesar 1,12 triliun yen, naik tipis hanya 0,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini mencerminkan bahwa meskipun penjualan kendaraan masih kuat, tekanan dari tarif dan fluktuasi mata uang mulai membatasi margin keuntungan.
Langkah proteksionis seperti tarif otomotif AS dapat menyebabkan disrupsi dalam rantai pasok global. Toyota, yang mengandalkan jaringan manufaktur dan pasokan lintas negara, menghadapi tantangan dalam mengelola biaya produksi dan distribusi yang lebih tinggi.
Selain itu, kebijakan semacam ini berisiko menciptakan ketegangan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat, dua ekonomi terbesar dunia yang saling tergantung dalam sektor otomotif.