Sumber: Reuter | Editor: Dessy Rosalina
TOKYO. Radiasi nuklir menjadi momok menakutkan bagi warga Jepang. Tidak cuma itu, kebocoran dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kerap membuat pasokan listrik terputus. Namun, keluhan terhadap minimnya pasokan listrik bisa jadi berubah di masa mendatang. Rabu (13/11), parlemen Jepang meloloskan aturan yang membuka babak baru di industri listrik.
Aturan anyar tersebut membuka sebesar-besarnya kesempatan bagi pasar untuk mendirikan produsen listrik. Liberalisasi listrik ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak tahun 1951 silam. Era baru liberalisasi listrik menjadi nyata, pasca 202 anggota parlemen meloloskan undang-undang (UU) liberalisasi listrik. Sedangkan sebanyak 29 anggota parlemen menolak UU tersebut.
Gempa tsunami pada tahun 2011 menjadi pemicu praktik liberalisasi listrik di Jepang. Pasca gempa, pasokan listrik bagi warga Jepang terganggu. Itu sebabnya Jepang mengimpor minyak dalam jumlah tinggi. Ada beberapa poin penting dalam UU tersebut. Pertama, pemerintah akan membentuk perusahaan listrik nasional pada tahun 2015.
Kedua, pemerintah membebaskan pasar listrik, termasuk menghapus kontrol harga, pada tahun 2020. Ketiga, pemerintah meliberalisasi pasokan listrik untuk pasar rumah tangga pada tahun 2016. "UU ini masih harus menghadapi beberapa hal yang perlu diselesaikan, semisal pasokan listrik yang stabil," ujar Makoto Yagi, Ketua Gabungan Perusahaan Listrik Jepang sekaligus Presiden Kepco.
Selama ini, hanya ada dua perusahaan yang memonopoli sektor listrik di Jepang. Mereka adalah Tokyo Electric Power Co (Tepco) dan Kansai Electric Power Co (Kepco). Kedua perusahaan ini menguasai 98% pasokan listrik di seluruh Jepang. Tepco dan Kepco juga mendominasi akses jaringan listrik yang membuat pemain baru terkena biaya tinggi.
Sejatinya, pasar listrik rumah tangga telah menganut pasar bebas sejak tahun 2005. Tetapi, Tepco dan Kepco memiliki kendali penuh untuk memblok suplai produsen lain karena keduanya menguasai akses jaringan listrik. Sejak tahun 1990 silam Tepco dan Kepco menolak adanya liberalisasi. Kedua perusahaan ini memiliki pengaruh kuat di peta politik Jepang.