Reporter: Rika Theo, The Guardian |
LONDON. Hari ini, tiga puluh tahun lalu, terukir noda hitam dalam sejarah ekonomi dunia. Di hari inilah Meksiko mengumumkan moratorium atas utang luar negerinya. Gagal bayar Meksiko ini menjadi penanda masa yang selanjutnya dikenal dengan krisis utang negara ketiga.
Tiga dekade kemudian, dunia mengalami krisis lagi, tapi kali ini gilirannya krisis utang negara-negara utama.
Mari membandingkan. Meksiko bisa kita jajarkan dengan Yunani. Sedangkan bank-bank Amerika, Inggris, dan Jepang yang menampung laba dari produsen minyak hingga kredit sub-prime pemerintah Amerika Latin dapat dibandingkan dengan bank-bank AS dan Eropa yang dengan ceroboh menggelontorkan KPR murah, namun menjualnya lagi dalam aneka produk derivatif.
Kebijakan merespon kedua krisis ini pun ternyata identik. Tahun 1982, IMF memberi pinjaman pada pemerintah Amerika Latin sehingga mereka dapat membayar utang kepada bank-bank yang terancam kolaps. Ini terjadi pula di Yunani sekarang.
Kebijakan ketat yang jadi prasayarat pinjaman telah mengakibatkan pengangguran tinggi, kenaikan kemiskinan, dan penurunan produksi. Di tahun 1990, produksi Amerika Latin bahkan lebih kecil 8% daripada di tahun 1980.
Pemerintahnya membayar harga mahal bailout karena IMF khawatir pendekatan yang terlalu lunak akan mengarah ke problema “moral hazard”. Jika tak diberi syarat berat, negara seperti Brasil dan Meksiko akan jadi contoh jelek bagi yang lain untuk untuk meminjam uang dengan mudah.
Akan tetapi, setelah terapi kejut ini diterapkan, beban utang negara-negara Latin ini bukannya turun melainkan naik. Rasio utang terhadap PDB Meksiko berlipat dua dalam lima tahun setelah tahun 1982 gara-gara ekonominya jatuh. Belakangan, IMF dan negara-negara utama Barat sadar bahwa utang Meksiko tak bisa dibayar dan harus dihapusbukukan.
Kampanye penghapusan utang ini kemudian menjalar di tahun 1990-an, dari Amerika Latin ke sub-Sahara Afrika. Meski muncul kekhawatiran bahwa penghapusan utang membenarkan perilaku buruk para debitur, negara-negara belajar satu hal: yang jadi masalah bukan moral hazard.
Kecuali, tentu saja bagi perbankan. Mereka tetap menerima perlakuan emas meski telah menyalurkan pinjaman dengan ceroboh di akhir tahun 70-an hingga awal 80-an. Bukannya mengetatkan regulasi dan pengawasan, pemerintah di Barat malah lanjut melonggarkan kendali. Aturan untuk membatasi ukuran dan lingkup sebuah bank yang ditetapkan pasca masa depresi besar dihapus. Bank menjadi makin besar, berkuasa, dan meluaskan jangkauan global mereka.
Liberalisasi finansial mencapai masa kejayaannya. Para arsiteknya percaya, liberalisasi akan menjadikan modal digunakan lebih efisien, sehingga ekonomi tumbuh lebih cepat dan masyarakat bisa lebih sejahtera.
Alih-alih, liberalisasi finansial sesungguhnya mengakibatkan konsentrasi kekuasaaan tanpa batas, kaum elite tertentu makin kaya, moral hazard terjadi secara kolosal, dan serangkaian krisis menjalari pusat ekonomi dunia.
Pelajaran dari krisis Amerika Latin
Ada dua pelajaran dari krisis utang Amerika Latin yang bisa ditarik bagi masa sekarang ini. Pertama, penghapusan utang Yunani, baik melalui pengampunan utang atau melalui gagal bayar, dapat terjadi di dalam maupun luar zona Euro. Ekonomi Yunani kini sekitar 20% lebih kecil dari tiga tahun lalu. Artinya, utangnya juga secara aritmatik tak bertambah besar.
Kedua, membiarkan sistem finansial tak tersentuh, tak direformasi, dan tak dihukum akan menjamin munculnya krisis utang parah lagi. Saat ini memang tampak tak mungkin sebab bank enggan memberi pinjaman. Namun cepat atau lambat, orang kembali lupa akan dampak aksi spekulatif di masa lalu. Mereka sudah lupa kasus tulip Belanda, gelembung di Laut Selatan, dan gejolak Wall Street.
Apakah ada yang bisa dilakukan demi mencegahnya? Satu hal yang bisa dilakukan adalah mengubah pola pikir tentang ekonomi.
Andrew Haldane dari Bank of England dalam esainya menyatakan, krisis adalah virus intelektual. “Virus ini mengkontaminasi hampir semua orang tahun 2007. Mereka melihat dunia sebelum krisis itu jauh lebih indah,” ujarnya. Tak ada yang sadar bahwa risiko selalu berjalan.
Sebaliknya, orang selalu berpikir ekonomi global sudah mencapai masa bahagianya. Problem-problem masa lalu sudah terpecahkan dan bukan soal lagi.
Agar tidak tenggelam dalam pola pikir ini, kita bisa kembali menengok pelajaran ekonomi dasar dari Adam Smith, Karl Marx, Friedrich Hayek, dan John Maynard Keynes
Smith mengingatkan bahaya kekuasaaan monopoli. Hayek menegaskan sistem harga hanya bekerja jika sihir kompetisi berlangsung. Marx berkata bahwa sejarah bergerak menuju sistem monopoli kapitalis. Dan Keynes menyerukan bahaya spekulasi finansial.
Dari sini, para pemikir besar itu punya pemecahan sendiri soal krisis. Smith bakalan ingin agar lembaga finansial multinasional dipecah. Hayek akan berargumen, lebih baik bank dibiarkan gagal ketimbang mereka berada dalam kondisi seperti zombie. Keynes tentunya menyarankan sektor keuangan menjadi pembantu sektor industri, bukan majikannya.
Dari perspektif Marxist, John Bellamy Foster dan Robert McChesney dalam bukunya berpendapat, pertumbuhan pesat dunia Barat di pertengahan abad ke-20 bak khayalan belaka. Pertumbuhan ini dikarenakan belanja militer, rekonstruksi pasca perang, belanja yang makin besar untuk kesejahteraan sosial, dan investasi di infrastruktur yang memungkinkan sektor otomotif tumbuh subur.
Tapi sejak itu, sejumlah hal juga sudah terjadi. Muncul konsentrasi modal, namun peluang investasi terbatas. Sejauh ini, gelombang inovasi seperti mobil, pesawat, sinema, dan TV belum mampu menyuntik energi ke ekonomi global, meski ada kemungkinan digital, robot, genetika, dan teknologi hijak bakal jadi katalis.
Alhasil, tren pertumbuhan merosot dan proses finansialisasi ekonomi Barat meluas. Surplus keuntungan didaur ulang melalui bank yang bertujuan mencari imbal hasil. Maka terjadilah krisis utang Amerika Latin. Maka muncul juga krisis KPR subprime Amerika. Maka ekonomi global tak kunjung keluar dari perlambatannya.