Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Koalisi yang berkuasa di Jepang kehilangan kendali atas majelis tinggi dalam pemilu yang digelar Minggu (20/7), semakin melemahkan cengkeraman Perdana Menteri Shigeru Ishiba atas kekuasaan, meski ia bersikeras tetap memimpin partai dengan alasan mendesaknya tenggat waktu tarif dengan Amerika Serikat.
Meskipun hasil pemilu ini tidak secara langsung menentukan apakah pemerintahan Ishiba akan tumbang, kekalahan ini memperbesar tekanan terhadap pemimpin yang sudah goyah, yang sebelumnya juga kehilangan kendali atas majelis rendah yang lebih berkuasa pada Oktober lalu.
Baca Juga: China Mulai Pembangunan Bendungan Tenaga Air Terbesar di Dunia di Tibet
Partai Demokrat Liberal (LDP) pimpinan Ishiba bersama mitra koalisinya, Komeito, hanya mengamankan 47 kursi dari 50 kursi yang dibutuhkan untuk mempertahankan mayoritas di majelis tinggi yang beranggotakan 248 kursi. Pemilu kali ini mempertaruhkan separuh dari kursi tersebut.
Kekalahan ini menambah daftar panjang kemunduran koalisi, setelah hasil terburuk dalam 15 tahun terakhir pada pemilu majelis rendah Oktober lalu.
Situasi tersebut membuat pemerintahan Ishiba rentan terhadap mosi tidak percaya dan tekanan dari dalam partainya sendiri untuk melakukan pergantian kepemimpinan.
Berbicara pada Minggu malam usai penghitungan suara, Ishiba menyatakan kepada NHK bahwa ia "menerima dengan penuh rasa hormat hasil yang pahit ini."
“Kami sedang menjalani negosiasi tarif yang sangat krusial dengan Amerika Serikat... Kami tidak boleh merusak proses ini. Sudah seharusnya seluruh tenaga dan dedikasi kami dicurahkan demi kepentingan nasional,” ujarnya kepada TV Tokyo.
Baca Juga: China Tahan Suku Bunga Acuan, Sesuai Perkiraan Pasar
Saat ditanya apakah ia berniat tetap menjabat sebagai perdana menteri, Ishiba menjawab, “Benar.”
Jepang, sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia, menghadapi tenggat waktu 1 Agustus untuk mencapai kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat atau menghadapi ancaman tarif besar atas ekspor ke pasar utamanya.
Di sisi lain, Partai Demokrat Konstitusional sebagai oposisi utama meraih 22 kursi dan menempati posisi kedua.
Sementara itu, partai ultranasionalis Sanseito mencuri perhatian dengan keberhasilan mereka menambah 14 kursi dari satu kursi yang telah mereka miliki sebelumnya.
Didirikan di platform YouTube beberapa tahun lalu, partai populis ini mendapat dukungan luas lewat kampanye bertema "Utamakan Jepang" dan retorika tentang "invasi diam-diam" oleh warga asing.
Baca Juga: Jalan Kaki ala Jepang yang Efektif Membakar Kalori, Yuk Kenali Japanese Walking
Sorotan Isu Ekonomi dan Imigrasi
Partai-partai oposisi yang menjanjikan pemotongan pajak dan peningkatan belanja kesejahteraan berhasil menarik simpati pemilih, terutama di tengah tekanan inflasi dan kenaikan harga pangan termasuk harga beras yang memicu frustrasi publik terhadap respons pemerintah.
“Dalam pemilu ini, LDP sebagian besar bermain defensif dan berada di sisi yang salah dari isu utama pemilih,” ujar David Boling, direktur dari firma konsultan Eurasia Group.
“Survei menunjukkan sebagian besar rumah tangga ingin adanya pemotongan pajak konsumsi untuk mengatasi inflasi, tapi LDP menolaknya. Oposisi memanfaatkan hal itu dan menyampaikan pesan tersebut secara efektif.”
LDP selama ini mendorong disiplin fiskal demi menjaga stabilitas pasar obligasi pemerintah yang sangat sensitif.
Baca Juga: Trump Tetap Terapkan Tarif 25% untuk Jepang, Kesepakatan dengan India Menyusul
Namun kini, kebutuhan untuk berkompromi dengan oposisi demi meloloskan kebijakan hanya akan meningkatkan kekhawatiran pelaku pasar.
“Partai yang berkuasa harus berkompromi demi mendapatkan dukungan oposisi, dan anggaran negara akan terus membengkak,” kata Yu Uchiyama, profesor politik Universitas Tokyo.
“Penilaian investor luar terhadap ekonomi Jepang juga akan menjadi lebih keras.”
Sanseito, yang muncul saat pandemi COVID-19 dengan menyebarkan teori konspirasi soal vaksin dan elit global, termasuk di antara kelompok yang mendorong ekspansi fiskal.
Namun, retorika keras mereka terhadap imigrasi yang paling mencuri perhatian, mendorong narasi ekstrem kanan dari pinggiran ke ranah arus utama.
Apakah Sanseito bisa mengikuti jejak partai sayap kanan lain seperti AfD di Jerman atau Reform UK di Inggris masih menjadi tanda tanya.
“Saya kuliah pascasarjana tapi tidak ada orang Jepang di sekitar saya. Semuanya orang asing,” kata Yu Nagai, mahasiswa berusia 25 tahun yang memilih Sanseito pada Minggu.
Baca Juga: Inflasi Inti Jepang Melambat di Juni, Namun Tetap di Atas Target BOJ
“Kalau melihat bagaimana uang dan kompensasi diberikan kepada orang asing, saya merasa warga Jepang sedikit tidak dihargai,” katanya usai mencoblos di tempat pemungutan suara di distrik Shinjuku, Tokyo.
Jepang, negara dengan populasi paling cepat menua di dunia mencatat jumlah penduduk kelahiran luar negeri mencapai rekor tertinggi sekitar 3,8 juta orang tahun lalu.
Meski hanya sekitar 3% dari total populasi, jumlah tersebut menonjol di tengah lonjakan wisatawan asing yang membuat keberadaan warga non-Jepang semakin terlihat di berbagai penjuru negeri.