Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Presiden AS Donald Trump mengatakan pada hari Rabu bahwa Iran atau pemimpinnya merencanakan serangan diam-diam terhadap target AS di Irak. Terkait hal itu, Trump memperingatkan AS tidak akan tinggal diam dan mereka akan membayar "harga yang sangat berat". Namun, tidak ada rincian lebih jauh mengenai hal ini.
“Berdasarkan informasi dan keyakinan, Iran atau penguasanya sedang merencanakan serangan diam-diam terhadap pasukan atau aset AS di Irak. Jika ini terjadi, memang Iran akan membayar harga yang sangat berat!” ujar Trump dalam sebuah postingan di Twitter seperti yang dikutip Reuters.
Tidak dijelaskan informasi apa yang dimaksud Trump dalam tweetnya. Tweet tersebut dia posting setelah ia dijadwalkan mengadakan briefing dengan pihak intelijen pada pukul 12 p.m.
Baca Juga: Iran melaporkan ada 3.000 kasus baru virus corona dalam satu hari
Seorang pejabat AS yang menjadi sumber Reuters mengatakan, informasi intelejen AS tentang potensi serangan yang didukung Iran di Irak menunjukkan kemungkinan serangan itu dapat ditangkal, berlawanan dari jenis serangan rudal terbuka yang dilakukan Teheran pada 8 Januari lalu.
Pejabat itu mengatakan penemuan intelijen tentang potensi serangan oleh Iran atau pasukan yang didukung Iran telah dikembangkan selama beberapa waktu. Pejabat itu tidak mengungkapkan tentang waktu atau lokasi yang tepat dari setiap serangan.
Baca Juga: Mata-mata AS: Penyebaran virus corona di China, Korut, dan Rusia sulit dipetakan
Sebelum Trump menuliskan tweet-nya, melansir kantor berita Iran, seorang pembantu militer penting untuk Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memperingatkan Washington agar tidak melakukan tindakan provokatif di Irak.
Hubungan AS-Iran memang semakin memburuk sejak terjadinya Revolusi Islam yang menggulingkan Shah Iran yang didukung AS, Mohammed Reza Pahlavi, pada 1979. Hal ini mengantarkan Iran memasuki era pemerintahan teokratis.
Sementara ada relaksasi terkait kesepakatan nuklir Iran di 2015, hubungan kedua negara telah memburuk ketika Trump memutuskan untuk meninggalkan perjanjian multilateral dan menerapkan kembali sanksi AS yang telah melumpuhkan ekonomi Iran.
Baca Juga: Hampir 300 orang tewas di Iran karena minum metanol yang dikira obati covid-19
Ketegangan semakin memburuk, saat serangan pesawat tak berawak 3 Januari dari AS menewaskan Qassem Soleimani, kepala pasukan elit Iran Quds, serta Abu Mahdi al-Muhandis, yang mendirikan milisi Syiah Irak Kataib Hezbollah.
Iran membalas dengan serangan roket ke pangkalan Ain al-Asad Irak di mana pasukan AS ditempatkan pada 8 Januari. Tidak ada pasukan AS yang terbunuh atau mengalami cedera tubuh langsung, tetapi lebih dari 100 tentara kemudian didiagnosis dengan cedera otak traumatis.
Baca Juga: Jumlah kematian di Iran akibat wabah corona naik menjadi 2.378 orang
Kemudian, Amerika Serikat menyalahkan Kataib Hezbollah yang didukung Iran atas serangan roket 11 Maret yang menewaskan dua tentara Amerika dan seorang tentara Inggris berusia 26 tahun di Irak. Sehari kemudian, AS melakukan serangan udara terhadap gerilyawannya di Irak.
Phillip Smyth, seorang pakar yang melacak milisi Syiah di lembaga think tank Kebijakan Timur di Washington, mengatakan ia yakin peringatan Trump dipicu oleh munculnya League of the Revolutionaries, sebuah kelompok yang katanya dibentuk untuk memberikan perlawanan kelompok Kataib Hezbollah untuk menyerang target AS.
Amerika Serikat dan Iran juga telah terlibat dalam perang kata-kata atas sanksi AS, yang bertujuan untuk memaksa Iran untuk mengekang program nuklir dan misilnya serta penggunaan proxy dalam konflik di Irak, Lebanon dan Yaman.
Washington telah berulang kali memperketat sanksi, yang dirancang untuk mencekik ekspor minyak Teheran, pada bulan lalu ketika wabah virus corona telah menyebar di Iran. Negara ini merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang paling terpukul oleh virus tersebut.