Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengaku sulit untuk menghapus Hak Veto dari sistem pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB.
Dalam sebuah wawancara dengan Wakil Direktur Jenderal Pertama TASS Mikhail Gusman, Guterres tegas mengatakan bahwa mekanisme veto di PBB tidak akan dihapuskan dalam kondisi apapun.
Meskipun demikian, Guterres juga mengakui bahwa hubungan antara Dewan Keamanan dan Majelis Umum semakin terbuka terkait pengambilan keputusan.
"Lalu ada pertanyaan yang sangat sulit mengenai hak veto. Hak veto tidak mungkin hilang, namun kini ada kemajuan dalam hubungan antara Dewan Keamanan dan Majelis Umum. Kapan pun ada hak veto, ada penjelasan yang diberikan kepada Majelis Umum," kata Guterres, dikutip TASS hari Kamis (27/6).
Baca Juga: PBB: Perusahaan Senjata yang Jual ke Israel Bisa Terlibat Pelanggaran HAM
Guterres menambahkan, ada hal-hal dalam metode kerja Dewan Keamanan yang perlu diperbaiki, terutama untuk memperkuat efisiensi dan legitimasi.
Sekjen PBB asal Portugal itu menyadari bahwa kinerja Dewan Keamanan akan sangat memengaruhi citra PBB secara keseluruhan.
"Ada hal-hal yang bisa diperbaiki dalam metode kerja Dewan Keamanan. Penting untuk memperkuat efisiensi dan legitimasi Dewan Keamanan. PBB secara keseluruhan harus menanggung akibatnya jika Dewan Keamanan tidak mampu menyelesaikan suatu masalah," kata Guterres.
Hak Veto merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh para anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis.
Baca Juga: Rusia Ingin Sanksi PBB untuk Korea Utara Dipertimbangkan Kembali
Dengan kekuatan itu, kelima negara mampu membatalkan resolusi substantif apa pun. Menariknya, para anggota tetap sepakat bahwa veto tidak berlaku pada pemungutan suara prosedural.
Hak Veto bahkan bisa digunakan para anggota tetap Dewan Keamanan untuk menghalangi pemilihan Sekretaris Jenderal.
Hadirnya Hak Veto dianggap kerap menjadi penghalang dalam upaya perdamaian. Masing-masing anggota hampir selalu menggunakan hak itu untuk menolak kelahiran perjanjian perdamaian karena memiliki kepentingan dalam konflik.