Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. India berhasil menghemat miliaran dolar dengan meningkatkan impor minyak mentah diskon dari Rusia pascaperang Ukraina. Namun, keuntungan tersebut kini terancam hilang akibat tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Tarif tambahan hingga 50% terhadap barang ekspor India mulai berlaku pada Rabu (27/8), dan diperkirakan akan memangkas ekspor India secara signifikan.
India Hemat US$17 Miliar, Terancam Rugi US$37 Miliar
Sejak awal 2022, India diperkirakan telah menghemat setidaknya US$17 miliar berkat impor minyak Rusia dengan harga lebih murah. Namun, menurut lembaga riset Global Trade Research Initiative (GTRI) yang berbasis di New Delhi, tarif baru AS berpotensi menurunkan ekspor India lebih dari 40% atau sekitar US$37 miliar dalam tahun fiskal ini (April–Maret).
Dampak tarif ini diperkirakan akan berlangsung lama dan bisa mengancam ribuan lapangan kerja, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, perhiasan, dan batu mulia. Secara politik, situasi ini juga dapat menjadi pukulan berat bagi Perdana Menteri Narendra Modi.
Baca Juga: AS Resmi Berlakukan Tarif 50% untuk Produk India, Ketegangan Dagang Memanas
India di Persimpangan: Rusia atau AS?
India kini berada dalam dilema geopolitik. Di satu sisi, Rusia tetap menjadi mitra penting dalam persenjataan, minyak murah, serta dukungan diplomatik. Di sisi lain, Amerika Serikat adalah mitra strategis utama dalam menghadapi pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.
“India masih membutuhkan Rusia untuk peralatan pertahanan, minyak murah, dan dukungan geopolitik. Namun, AS tetap mitra strategis paling penting,” ujar Happymon Jacob, pendiri Council for Strategic and Defence Research di New Delhi.
“India tidak punya kemewahan untuk memilih salah satu, setidaknya untuk saat ini,” tambahnya.
Risiko Jika Hentikan Impor Minyak Rusia
Saat ini, minyak Rusia menyumbang hampir 40% dari total impor minyak India, naik dari hampir nol sebelum perang Ukraina. Penghentian mendadak dianggap mustahil secara ekonomi dan politik. Bahkan, menurut perkiraan pemerintah India, harga minyak global bisa melonjak tiga kali lipat menjadi sekitar US$200 per barel jika India menghentikan pembelian minyak Rusia.
Selain itu, India akan kehilangan diskon hingga 7% dari harga acuan global yang ditawarkan Rusia. Reliance Industries milik Mukesh Ambani, yang mengoperasikan kompleks pengilangan terbesar di dunia di Gujarat, menjadi pembeli utama minyak Rusia tersebut.
Baca Juga: India Tegaskan Tetap Beli Minyak Rusia Meski Dapat Tekanan dari AS
Ketegangan Diplomatik dengan Washington
Hubungan India–AS kian tegang setelah Menteri Keuangan AS Scott Bessent menuduh India “mengambil untung” dari lonjakan impor minyak Rusia, sementara negara-negara lain seperti Tiongkok tidak dikenai sanksi serupa.
Sebagai respons, India menuduh Washington berstandar ganda, karena AS sendiri masih mengimpor produk Rusia seperti uranium hexafluoride, paladium, dan pupuk.
Kementerian Luar Negeri India menegaskan impor minyak Rusia adalah kebutuhan untuk menjamin harga energi yang terjangkau bagi rakyat, bukan semata keuntungan dagang. India juga mengingatkan bahwa pemerintahan Joe Biden sebelumnya mendukung pembelian minyak Rusia demi stabilitas harga global.
Dampak Politik Domestik
Tarif baru AS berpotensi memperburuk tekanan politik dalam negeri bagi Modi. Ia belum memberikan komentar langsung, namun berulang kali menegaskan dukungan bagi petani India, sebuah pernyataan yang dinilai sebagai sindiran terhadap desakan Trump agar India membuka sektor pertaniannya.
Petani adalah basis suara kunci, terutama menjelang pemilu di negara bagian Bihar akhir tahun ini. Modi juga berjanji menurunkan pajak barang dan jasa (GST) pada Oktober untuk mendorong konsumsi domestik.
Baca Juga: Ekspor India Terancam Tarif Tambahan 25% dari AS akibat Impor Minyak Rusia
Manuver Diplomatik: Rusia, Tiongkok, dan SCO
Dalam beberapa pekan terakhir, pejabat senior India gencar melakukan diplomasi. Kunjungan ke Rusia terus dilakukan, sementara Modi dijadwalkan melakukan kunjungan pertama ke Tiongkok dalam tujuh tahun. Ia juga akan bertemu Presiden Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin pada KTT Shanghai Cooperation Organisation (SCO) pekan ini.
Namun, meski Rusia berharap ada pertemuan trilateral India–Rusia–Tiongkok, sumber pemerintah India menegaskan bahwa New Delhi masih sangat berhati-hati dalam hubungannya dengan Beijing.
Dampak Global dan Risiko Jangka Panjang
Para analis menilai, kebijakan tarif AS terhadap India dapat menjadi preseden bagi negara lain.
“Jika India—sebuah kekuatan ekonomi dan militer besar—berada di bawah tekanan AS, negara lain mungkin akan memiliki kapasitas lebih kecil untuk menolak,” kata Jacob.
Selain itu, langkah Trump dinilai bisa mengembalikan hubungan AS–India ke titik terendah sejak sanksi Washington pasca-uji coba nuklir India tahun 1998. Isu ini tidak hanya berdampak pada perdagangan, tetapi juga bisa memengaruhi visa kerja untuk profesional IT India dan industri outsourcing.
Menurut Ajay Srivastava, pendiri GTRI, meski sebagian tarif kelak bisa dicabut, dampak jangka panjang sulit dihindari. “Pesaing India seperti Tiongkok, Vietnam, Meksiko, Turki, bahkan Pakistan dan Nepal, bisa mengisi kekosongan pasar dan mengunci India keluar dari sektor kunci meski tarif telah dicabut,” ujarnya.