Sumber: Fortune | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Pada usia 30 tahun, Lucy Guo telah menapaki pencapaian yang tak biasa menjadi triliuner teknologi dengan kekeyaan bersih sekitar Rp 20 triliun.
Namun bukan hanya kesuksesannya yang menarik perhatian, melainkan juga filosofi hidup dan kerja yang dijalaninya: tanpa kompromi, tanpa jeda, dan nyaris tanpa batas antara kehidupan pribadi dan profesional.
Dalam wawancara terbarunya bersama Fortune, Guo melontarkan pandangan tajam yang memantik perdebatan: jika seseorang merasa perlu menyeimbangkan hidup dan pekerjaan, mungkin mereka tidak berada di jalur karier yang tepat.
Bagi Guo, bekerja bukanlah beban, melainkan bentuk ekspresi diri. Ia mengaku tidak merasa terbebani oleh jam kerja yang panjang karena pekerjaannya adalah sesuatu yang ia cintai sepenuhnya.
Baca Juga: Dedikasi Ekstrem Triliuner Muda Lucy Guo dan Budaya Kerja Intens di Dunia Teknologi
“Saya menikmati pekerjaan saya. Jika Anda merasa perlu menyeimbangkan keduanya, bisa jadi Anda tidak memilih pekerjaan yang sesuai,” ungkapnya tanpa ragu.
Guo bukan sekadar berbicara. Ia menjalani gaya hidup yang mencerminkan ucapannya. Bangun pukul 05.30 pagi, Guo langsung memulai harinya dengan olahraga intensif di Barry’s, pusat kebugaran yang dikenal dengan program latihan berintensitas tinggi.
Setelah itu, ia terjun langsung ke kantor dan menjalani hari penuh aktivitas yang mencakup promosi, pertemuan dengan tim humas, produksi podcast, serta evaluasi produk dan pengalaman pengguna.
Hari-harinya ditutup menjelang tengah malam, namun bahkan pada waktu itu ia masih aktif memantau layanan pelanggan.
Dedikasinya pada pelanggan menjadi salah satu aspek yang paling ia tekankan dalam menjalankan startup. Guo memimpin Passes, sebuah platform komunitas kreator, setelah sebelumnya keluar dari Scale AI, perusahaan yang turut ia dirikan dan kini bernilai lebih dari US$ 1,2 miliar.
Baca Juga: Jadi Triliuner di Usia 30 Tahun, Lucy Guo Kerja Keras dari Pagi Hingga Larut Malam
Meski memiliki jadwal yang sangat padat, ia memastikan layanan pelanggan di perusahaannya dijalankan dengan respons cepat. Timnya diberi tenggat waktu lima menit untuk menanggapi keluhan pelanggan sebelum Guo sendiri turun tangan. Baginya, reputasi adalah segalanya.
“Pelayanan pelanggan yang luar biasa membuat startup menonjol dari perusahaan besar,” ujarnya.
Filosofi kerja Guo selaras dengan budaya kerja ekstrem yang dikenal sebagai “996”, bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari dalam seminggu, yang berkembang di Tiongkok dan kini mulai diterapkan oleh sejumlah pemimpin startup di Barat.
Budaya ini menuntut dedikasi penuh terhadap perusahaan dan produk yang dibangun. Meski banyak dikritik, filosofi ini tetap mendapat tempat di kalangan pengusaha teknologi yang berambisi besar.
Tokoh-tokoh dunia startup seperti Harry Stebbings, pendiri dana investasi 20VC, bahkan mendorong para pendiri perusahaan rintisan di Eropa untuk mengadopsi pola kerja serupa.
Menurutnya, bekerja tujuh hari seminggu adalah kecepatan minimum yang diperlukan untuk menang dalam persaingan teknologi global. Martin Mignot dari Index Ventures menambahkan bahwa budaya 996 sudah menjadi “standar tak tertulis” di kalangan pelaku industri teknologi saat ini.
Budaya kerja ekstrem ini tak hanya terbatas pada pendiri startup. CEO perusahaan besar pun menunjukkan pola kerja yang nyaris serupa.
Leah Cotterill, CEO Cigna Healthcare untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika, bekerja penuh dari Senin hingga Kamis dan baru memberi ruang pada jadwalnya di hari Jumat.
Baca Juga: Lucy Guo, Triliuner Muda yang Tetap Hemat Meski Punya Kekayaan Rp 21 Triliun
Sementara itu, Putri Noura binti Faisal Al Saud, CEO Culture House, menyebut dirinya sebagai pekerja 24/7 yang tidak pernah benar-benar berhenti karena kecintaannya terhadap pekerjaan.
Kecenderungan ini menimbulkan tantangan tersendiri, terutama bagi generasi muda yang menaruh perhatian besar pada keseimbangan hidup dan kerja. Ketika para pemimpin industri justru semakin mendorong batas antara keduanya, muncul pertanyaan: apakah kerja keras tanpa batas adalah satu-satunya jalan menuju sukses?
Dalam sebuah memo internal yang bocor, Sergey Brin, salah satu pendiri Google, pernah menyebut bahwa 60 jam kerja per minggu adalah angka optimal bagi mereka yang ingin menorehkan prestasi besar di industri kecerdasan buatan.
Pandangan ini semakin memperkuat gagasan bahwa dalam dunia teknologi yang berkembang cepat, kecepatan dan dedikasi ekstrem bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Baca Juga: Triliuner Muda Lucy Guo Masih Suka Beli Makanan Promo Beli Satu Gratis Satu
Lucy Guo adalah wajah dari paradigma baru itu: ketika batas antara kerja dan hidup melebur, dan ketika ambisi bukan sekadar mimpi, melainkan sebuah sistem hidup yang dijalani sepenuh hati.