Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada Senin merilis lebih dari 240.000 halaman dokumen terkait pembunuhan Martin Luther King Jr., termasuk catatan dari FBI yang pernah mengawasi dan mendiskreditkan tokoh peraih Nobel Perdamaian tersebut serta gerakan hak-hak sipil yang ia pimpin.
Dokumen-dokumen tersebut dipublikasikan melalui situs resmi Arsip Nasional AS, yang menyatakan bahwa akan ada lebih banyak dokumen lagi yang dibuka untuk publik ke depannya.
Baca Juga: Serangan Siber Global Sasar Server Microsoft SharePoint, 100 Organisasi Jadi Korban
King tewas ditembak di Memphis, Tennessee, pada 4 April 1968, di tengah upayanya yang semakin luas dari perjuangan hak sipil non-kekerasan menjadi advokasi isu-isu ekonomi dan perdamaian dunia.
Kematian King mengguncang Amerika di tahun yang juga diwarnai oleh kerusuhan ras, demonstrasi anti-perang Vietnam, serta pembunuhan calon presiden Robert F. Kennedy.
Awal tahun ini, pemerintahan Presiden Donald Trump juga merilis ribuan halaman dokumen digital terkait pembunuhan Robert Kennedy dan mantan Presiden John F. Kennedy yang terbunuh pada tahun 1963.
Trump saat kampanye menjanjikan keterbukaan lebih besar terhadap dokumen pembunuhan JFK.
Setelah menjabat, ia memerintahkan timnya untuk merancang rencana pembukaan dokumen terkait pembunuhan Robert Kennedy dan Martin Luther King Jr.
FBI diketahui menyimpan file tentang King sejak era 1950-an hingga 1960-an, termasuk menyadap saluran teleponnya, dengan tuduhan tak berdasar soal dugaan hubungan King dengan komunisme tuduhan yang muncul di tengah ketegangan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet.
Baca Juga: Badai Tropis Wipha Dekati Pantai Utara Vietnam, Hujan Lebat dan Banjir Mengancam
FBI belakangan mengakui bahwa tindakan itu merupakan "penyalahgunaan dan pelanggaran wewenang" dalam sejarahnya.
Keluarga King menyerukan agar publik yang mengakses dokumen tersebut “melakukannya dengan empati, kehati-hatian, dan menghormati duka yang masih mereka rasakan.” Mereka mengecam segala upaya untuk menyalahgunakan isi dokumen.
“Lebih dari sebelumnya, kita harus menghormati pengorbanannya dengan mewujudkan impiannya sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar kasih sayang, persatuan, dan kesetaraan,” bunyi pernyataan keluarga.
“Sepanjang hidup ayah kami, ia menjadi target kampanye disinformasi dan pengawasan yang invasif dan predator, yang dijalankan oleh J. Edgar Hoover melalui FBI,” ungkap Martin Luther King III (67 tahun) dan Bernice King (62 tahun), dua anak King yang masih hidup.
James Earl Ray, seorang pendukung segregasi dan gelandangan, sempat mengaku membunuh King, tetapi kemudian mencabut pengakuannya. Ia meninggal di penjara pada 1998.
Baca Juga: Karhutla di Sumatra Meningkat, Malaysia Peringatkan Ancaman Kabut Asap
Keluarga King mengungkap bahwa pada tahun 1999 mereka menggugat pemerintah secara perdata di negara bagian Tennessee.
Juri dalam kasus itu secara bulat menyatakan bahwa King menjadi korban konspirasi, yang melibatkan Loyd Jowers dan sejumlah pihak lain, termasuk lembaga pemerintah.
Putusan itu juga menyimpulkan bahwa pelaku penembakan bukanlah James Earl Ray, dan bahwa Ray dijadikan kambing hitam. Keluarga menyebut putusan itu sebagai penguat keyakinan mereka selama ini.
Jowers, yang pernah menjadi polisi di Memphis, dalam wawancara dengan ABC pada tahun 1993 mengaku terlibat dalam konspirasi pembunuhan King. Namun, laporan Departemen Kehakiman AS pada 2023 menyebut klaim Jowers sebagai "meragukan."