Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID. Mata uang won Korea Selatan dan baht Thailand menguat pada perdagangan Selasa (8/7), setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengonfirmasi bahwa tarif baru terhadap kedua negara tersebut tidak akan berlaku hingga 1 Agustus 2025.
Penundaan ini memberi ruang bagi kedua negara untuk melanjutkan negosiasi dan mencari kesepakatan dagang yang lebih baik.
Baca Juga: China Perluas Akses Investor Domestik ke Obligasi Luar Negeri Lewat Bond Connect
Won menguat hingga 0,7% terhadap dolar AS, pulih dari posisi terendah dalam dua pekan terakhir. Sementara itu, baht Thailand menghapus sebagian pelemahannya semalam dan menguat 0,5%.
Trump sebelumnya menyampaikan bahwa tarif tambahan terhadap 14 mitra dagang AS, termasuk Korea Selatan dan Thailand, akan mulai berlaku pada 1 Agustus, menggantikan tenggat awal 9 Juli.
Tarif untuk Korea Selatan tetap di angka 25%, sedangkan Thailand dikenai tarif sebesar 36%, sesuai pengumuman awal pada 2 April 2025.
Pejabat dari kedua negara menyatakan akan memperkuat upaya diplomatik guna mencapai kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan sebelum tenggat waktu yang ditetapkan.
Baca Juga: Malaysia Lanjutkan Negosiasi Dagang dengan AS Terkait Tarif 25%
Menteri Keuangan Thailand menyebut dirinya terkejut dengan besaran tarif, namun tetap optimistis dapat menurunkan tarif tersebut melalui negosiasi.
Kendati demikian, pelaku pasar tetap berhati-hati, mengingat tarif yang berlaku tidak berubah dari pengumuman sebelumnya dan waktu negosiasi tersisa relatif singkat.
Pasar juga meragukan apakah jangka waktu hingga 1 Agustus cukup untuk mencapai lebih banyak kesepakatan dibanding periode jeda tarif 90 hari sebelumnya.
“Reaksi pasar valuta asing yang cukup moderat kemungkinan mencerminkan keyakinan bahwa tarif masih bisa dinegosiasikan, atau sejalan dengan pola 'Trump Always Chickens Out (TACO)' yang sering terjadi sebelumnya,” kata Michael Wan, analis mata uang senior di MUFG.
Investor Asia juga mencermati bagaimana negara-negara merespons tindakan keras Washington terhadap praktik transshipment barang asal China, mengingat keterkaitan ekonomi mereka melalui rantai pasok dan investasi asing langsung (FDI).
Baca Juga: Pasar Saham Asia Tahan Guncangan Tarif Trump Selasa (8/7), Minyak Melemah Tipis
“Ekonomi ASEAN seperti Malaysia dan Thailand sangat terkait dengan China lewat rantai pasok dan FDI,” ujar Vishnu Varathan, Kepala Riset Makro Asia (tanpa Jepang) di Mizuho Securities.
“AS tampaknya akan melanjutkan upaya isolasi terhadap China dan kemungkinan respons Beijing tidak bisa diabaikan. Maka dari itu, ketidakpastian akibat tarif meski bukan satu-satunya penyebab kemungkinan akan berlangsung lama,” lanjutnya.
Di pasar saham, indeks Kospi Korea Selatan naik lebih dari 1%. Sementara bursa saham Thailand sempat dibuka melemah hampir 1%, namun segera memangkas kerugian.
Sebaliknya, indeks saham acuan Indonesia dan nilai tukar rupiah cenderung melemah tipis di awal perdagangan.
Indonesia menghadapi tarif sebesar 32%, angka yang sama dengan pengumuman awal pada April meskipun negara ini telah menawarkan tarif impor nol persen untuk produk AS dan membuka peluang investasi bilateral senilai US$ 34 miliar.
Baca Juga: PM Jepang: Tokyo Akan Lanjutkan Negosiasi Dagang dengan AS
Sementara itu, indeks mata uang pasar berkembang MSCI cenderung stagnan, namun indeks saham negara berkembang Asia mencatatkan penguatan tipis.
Di Singapura, indeks FTSE Straits Times mencetak rekor tertinggi lima hari berturut-turut, didorong oleh arus masuk dana ke saham-saham perbankan besar.
Dolar Singapura pun terus menguat setelah sempat terpuruk ke level terendah dalam 12 tahun pada awal bulan ini.