Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
Waktu laporan tersebut, menjelang Indo-Defence Expo, dapat menunjukkan kebocoran strategis oleh pejabat China untuk menarik minat atau menekan Indonesia agar membuat kesepakatan. Atau, laporan tersebut dapat bersifat spekulatif, didorong oleh eksplorasi berkelanjutan Indonesia terhadap opsi yang hemat biaya daripada komitmen konkret.
Perkembangan regional terkini juga dapat memengaruhi minat Indonesia. Ketegangan antara Pakistan dan India, khususnya pertikaian udara mereka pada tahun 2019, menyoroti kemampuan J-10 ketika J-10C Pakistan dilaporkan tampil baik melawan jet tempur India.
Hal ini dapat menggelitik minat Indonesia, karena J-10 menawarkan platform yang terbukti dan relatif modern dengan biaya yang lebih rendah daripada alternatif Barat. Namun, keputusan untuk memperoleh pesawat bekas menimbulkan pertanyaan tentang kondisinya, sisa masa pakai, dan kompatibilitasnya dengan sistem yang ada di Indonesia, yang sebagian besar berasal dari Barat atau Rusia.
J-10, yang sering disebut sebagai "Naga yang Kuat," adalah landasan angkatan udara modern China, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara jet tempur generasi ketiga dan keempat. Pertama kali diterbangkan pada tahun 1998 dan mulai beroperasi dengan PLAAF pada tahun 2004, J-10 telah berevolusi melalui beberapa varian, masing-masing menggabungkan peningkatan bertahap dalam avionik, mesin, dan senjata.
Model dasar, J-10A, memiliki konfigurasi sayap delta dengan canard, yang memberikan kemampuan manuver yang sangat baik. Pesawat ini didukung oleh satu mesin Saturn AL-31F, mesin rancangan Rusia yang juga digunakan dalam Su-27, yang menghasilkan daya dorong sebesar 27.557 pon dan kecepatan tertinggi Mach 2,2.
Baca Juga: Rusia Tembak Jatuh Jet Tempur F-16 Sebelum Sempat Luncurkan Rudal
J-10C, varian paling canggih, mulai beroperasi pada tahun 2018 dan memiliki mesin WS-10B yang dikembangkan di dalam negeri, menggantikan AL-31F Rusia. Radar AESA J-10C meningkatkan deteksi dan pelacakan target, sementara kemampuannya untuk membawa rudal PL-15 canggih, dengan jangkauan melebihi 120 mil, membuatnya kompetitif dengan pesawat tempur Barat seperti F-16 Block 70.
J-10C juga mencakup fitur peningkatan siluman, seperti lapisan penyerap radar, meskipun itu bukan pesawat siluman sejati. Menurut laporan tahun 2023 oleh Voennen-bg.com, J-10 dianggap sebagai pesaing langsung F-16 dan Su-27, yang mampu melakukan misi superioritas udara dan serangan darat.
Bagi Indonesia, J-10 menawarkan beberapa keunggulan. Kemampuan multiperannya sejalan dengan kebutuhan TNI-AU akan platform serbaguna untuk mengatasi berbagai ancaman, mulai dari pertahanan udara hingga patroli maritim.
J-10A memiliki radius tempur sekitar 550 mil dan dapat membawa hingga 12.000 pon persenjataan, termasuk rudal udara-ke-udara PL-12, bom berpemandu laser, dan rudal antikapal.
J-10B, yang diperkenalkan pada tahun 2013, menggabungkan peningkatan seperti radar active electronically scanned array [AESA], sistem peperangan elektronik yang ditingkatkan, dan saluran masuk supersonik tanpa pengalih untuk kinerja mesin yang lebih baik.
Baca Juga: China Pindahkan Satelit untuk Bantu Pakistan Tembak Jatuh Jet Tempur India
Biaya akuisisi dan pengoperasian pesawat yang relatif rendah menjadikannya pilihan yang menarik dibandingkan dengan Rafale, yang harganya jauh lebih mahal. Kompatibilitas J-10 dengan mesin Rusia juga dapat menyederhanakan perawatan bagi Indonesia, yang sudah mengoperasikan Su-27 dan Su-30.
Namun, mengintegrasikan platform China ke dalam armada yang didominasi oleh sistem Barat dan Rusia menimbulkan tantangan logistik, termasuk pelatihan, suku cadang, dan interoperabilitas. Selain itu, kondisi J-10 bekas menjadi perhatian penting, karena rangka pesawat yang lebih tua mungkin memiliki masa pakai yang terbatas dan memerlukan perbaikan yang mahal.
Dari sudut pandang kritis, minat Indonesia terhadap J-10 dapat mencerminkan kompromi yang pragmatis daripada preferensi strategis. Performa pesawat, meskipun terhormat, tidak sebanding dengan avionik canggih Rafale atau tenaga mentah Su-35.
Pemilihannya dapat menunjukkan solusi jangka pendek untuk menjembatani kesenjangan kemampuan sementara Indonesia menunggu pengiriman Rafale atau pengembangan lebih lanjut KF-21.