Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Indonesia dikabarkan tengah mempertimbangkan langkah besar dalam strategi pengadaan pertahanan udara, dengan potensi pembelian 42 jet tempur J-10 bekas dari China dan melanjutkan kembali negosiasi yang sempat tertunda untuk mendatangkan Su-35 dari Rusia.
Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh kantor berita pertahanan Alert 5, seperti dikutip bulgarianmilitary.com pada Selasa (27/5), yang mengutip sumber internal yang mengetahui rencana tersebut.
Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia, China, maupun Rusia, spekulasi menyebutkan bahwa pengumuman resmi bisa dilakukan pada ajang Indo Defence Expo & Forum 2025 yang akan berlangsung pada 11–14 Juni mendatang di Jakarta.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI M Tonny Harjono seperti dikutip Kompas.com menegaskan, TNI AU hanya menunggu kebijakan pemerintah soal pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista).
"Apa yang menjadi alutsista yang diberikan kepada Angkatan Udara, kami sebetulnya menunggu dari kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan," kata Tonny di Markas Besar TNI AU, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Baca Juga: Taiwan Terguncang Penembakan Rafale Milik India, Senjata China Mulai Diperhitungkan
Sedangkan, pengembangan kekuatan merupakan ranah Kemenhan, termasuk dalam menentukan jenis dan asal alutsista. "Karena Angkatan Udara tugasnya sebagai pembina kekuatan. Panglima TNI, Mabes TNI sebagai pengguna kekuatan. Dan Kemenhan adalah pengembangan kekuatan. Jadi jenis apa saja, termasuk pesawat dari mana, jenisnya apa, kita menunggu arahan dari Kemhan. Mau dari China, mau dari Amerika, kita siap menerima," kata Tonny.
Tonny menigingatkan bahwa semua pengadaan alutsista melalui proses panjang dan melibatkan berbagai pihak, termasuk Dewan Penentu Alutsista (Wantuwada). “Ada pandangan ke sana. Jadi untuk penentuan alutsista juga tidak hanya, 'Ya saya beli ini'. Ada Dewan Penentu Alutsista atau Wantuwada, itu melalui rapat, pertimbangan ini itu, dan kita bicarakan tidak dalam waktu singkat," kata KSAU.
Ia menyatakan prosesnya pertimbangan pembelan J10 tetap ada. "Kita juga negara non-aligned, tidak berpihak ke salah satu blok. Dari mana saja kita bersahabat baik," imbuh dia.
Sebelumnya beredar kabar dari media asing di mana TNI AU dikabarkan menyetujui rencana pembelian 42 unit jet tempur J-10 pabrikan China. Dikabarkan bahwa jet tempur itu akan memperkuat pertahanan udara RI bersama Rafale buatan Perancis.
Langkah pemilihan J10 ini mencerminkan dinamika kompleks yang dihadapi Indonesia dalam memodernisasi kekuatan udaranya di tengah keterbatasan anggaran dan tekanan geopolitik. Dalam lingkungan keamanan regional yang semakin menegang, Indonesia berusaha menyeimbangkan efisiensi biaya, kapabilitas tempur, dan arah kebijakan luar negerinya.
Baca Juga: Presiden Prancis Macron Harap Prabowo Pesan Lagi Jet Rafale dan Kapal Selam Scorpene
Armada Udara Menua, Tantangan Modernisasi Meningkat
Saat ini, TNI Angkatan Udara masih mengandalkan armada campuran yang menua, terdiri dari F-16 (AS), Su-27 dan Su-30 (Rusia), serta Hawk 200 (Inggris). Pesawat-pesawat ini mulai kesulitan memenuhi tuntutan modern warfare, terlebih ketika negara-negara tetangga seperti China, Australia, dan Singapura sudah mengoperasikan pesawat canggih seperti J-20, F-35, dan Rafale.
Sejak 2015, Indonesia telah mencari berbagai opsi untuk mengatasi kesenjangan teknologi pertahanannya. Salah satu upaya terbesarnya adalah pada 2017, ketika Indonesia menandatangani kesepakatan senilai US$ 1,14 miliar untuk membeli 11 unit Su-35 dari Rusia.
Kesepakatan ini sempat menjadi sorotan karena melibatkan sistem pembayaran dengan komoditas seperti minyak kelapa sawit dan kopi.
Namun, proyek itu menghadapi hambatan besar, terutama karena tekanan dari Amerika Serikat melalui Undang-Undang CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act), yang membuat Indonesia akhirnya membatalkan pembelian tersebut secara resmi pada 2021.
Tonton: Presiden Prabowo Menjamu Presiden Macron dan Brigitte di Istana Negara
Rafale dan KF-21: Antara Ambisi dan Realita
Tak berhenti di Rusia, Indonesia juga menjalin kontrak pertahanan senilai US$ 8,1 miliar dengan Prancis untuk pembelian 42 unit Dassault Rafale pada 2022. Rafale yang merupakan jet tempur generasi 4,5 dengan avionik canggih dianggap sebagai lompatan besar dalam kemampuan udara Indonesia.
Namun, tingginya biaya dan tantangan integrasi teknis memicu kritik di dalam negeri. Beberapa anggota parlemen mempertanyakan apakah belanja militer sebesar itu tepat di tengah keterbatasan anggaran dan kebutuhan pertahanan lainnya.
Secara paralel, Indonesia juga menjadi mitra dalam program jet tempur KF-21 Boramae yang dikembangkan bersama Korea Selatan. Dengan ambisi mengakuisisi hingga 50 unit, Indonesia menyumbang pendanaan dan dukungan teknis.
Namun, komitmen tersebut dikurangi seiring tekanan fiskal dalam negeri, yang menimbulkan keraguan terhadap kelangsungan peran Indonesia dalam proyek itu.
Ketertarikan pada KAAN: Pandangan ke Masa Depan
Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia juga dikaitkan dengan program TAI TF-X (KAAN) milik Turki, jet tempur generasi kelima yang masih dalam tahap pengembangan.
Walau belum ada kontrak formal, pembicaraan tersebut menunjukkan Indonesia ingin tetap membuka jalur ke teknologi pertahanan masa depan dan menjaga hubungan strategis dengan berbagai negara.
Langkah Indonesia yang mempertimbangkan pembelian J-10 bekas dan membuka kembali peluang Su-35 menegaskan bahwa modernisasi pertahanan udara nasional tidak hanya soal platform terbaik, tetapi juga bagaimana menavigasi tekanan diplomatik, keterbatasan ekonomi, dan dinamika geopolitik global.
Keputusan apa pun yang diambil Indonesia dalam waktu dekat akan mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan militer yang mendesak dan strategi jangka panjang untuk menjaga kedaulatan serta pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.
Baca Juga: India Borong 26 Jet Tempur Rafale dari Prancis Senilai US$7,4 Miliar
Upaya Indonesia untuk mendapatkan jet tempur baru didorong oleh pertemuan faktor operasional, strategis, dan ekonomi. Armada TNI-AU saat ini, meskipun masih dapat digunakan, semakin ketinggalan zaman di kawasan yang sangat mementingkan keunggulan udara.
Laut Cina Selatan, yang menjadi titik panas sengketa teritorial yang melibatkan Cina, Filipina, Vietnam, dan negara-negara lain, menggarisbawahi perlunya angkatan udara yang tangguh yang mampu melakukan pencegahan dan respons cepat.
Negara-negara tetangga telah meningkatkan kemampuan mereka secara signifikan, dengan Cina menerjunkan jet tempur siluman J-20, Australia mengoperasikan F-35, dan Singapura memperoleh Rafale.
Perlombaan senjata regional ini memberi tekanan pada Indonesia untuk melakukan modernisasi guna mempertahankan kredibilitas sebagai kekuatan regional dan melindungi kepulauannya yang luas, yang mencakup lebih dari 17.000 pulau dan rute maritim penting.
Baca Juga: Iran Siap Bumi Hanguskan Israel, Peringatan Keras Setelah Beli Jet Tempur dari Rusia
Secara ekonomi, Indonesia menghadapi tantangan dalam mendanai akuisisi pertahanan skala besar. Dengan anggaran pertahanan sekitar $9 miliar pada tahun 2024, negara ini harus menyeimbangkan modernisasi militer dengan prioritas lain, seperti infrastruktur dan program sosial.
Biaya tinggi platform seperti Rafale, yang diperkirakan mencapai $200 juta per unit, membebani sumber daya Indonesia, sehingga mendorong pertimbangan opsi yang lebih terjangkau seperti pesawat bekas.
Secara geopolitik, kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak berpihak mendorongnya untuk mendiversifikasi kemitraan pertahanannya, menghindari ketergantungan pada satu pemasok saja.
Dengan melibatkan Rusia, Prancis, Korea Selatan, Turki, dan kini berpotensi China, Indonesia berupaya mempertahankan otonomi strategis sembari menghadapi tekanan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China.
Potensi akuisisi 42 jet tempur J-10 bekas merupakan perubahan signifikan dari fokus Indonesia baru-baru ini pada platform Barat dan Rusia. Beberapa faktor dapat menjelaskan pergeseran ini, meskipun kurangnya konfirmasi resmi memerlukan pendekatan yang hati-hati. Biaya kemungkinan menjadi pendorong utama.
J-10 bekas, yang mungkin bersumber dari Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China [PLAAF], dapat diperoleh dengan biaya yang jauh lebih murah daripada Rafale baru atau bahkan Su-35.
Meskipun harga pastinya masih dirahasiakan, sebuah laporan tahun 2022 di Aero-bg.com mencatat bahwa akuisisi Pakistan terhadap 25 jet tempur J-10C diperkirakan mencapai $1,3 miliar, yang menunjukkan biaya per unit sekitar $50 juta untuk pesawat baru.
Baca Juga: Sebelum Sempat Luncurkan Rudal, Rusia Tembak Jatuh Jet Tempur F-16
J-10 bekas bisa jauh lebih murah, berpotensi dalam kisaran $20-30 juta per unit, menjadikannya pilihan yang menarik bagi Indonesia yang sadar anggaran.
Secara strategis, J-10 dapat menarik minat Indonesia karena kompatibilitasnya dengan kerangka operasional TNI-AU yang ada. J-10 dirancang untuk misi multiperan, yang mampu melakukan pertempuran udara-ke-udara, serangan darat, dan serangan maritim, sejalan dengan kebutuhan Indonesia akan platform serbaguna untuk berpatroli di perbatasan maritimnya yang luas.
Desain mesin tunggalnya menawarkan biaya pengoperasian yang lebih rendah dibandingkan dengan jet tempur bermesin ganda seperti Su-35 atau Rafale, yang merupakan pertimbangan penting bagi negara dengan infrastruktur pemeliharaan terbatas.
Selain itu, kesediaan China untuk menawarkan persyaratan pembiayaan atau transfer teknologi yang menguntungkan dapat mempermanis kesepakatan tersebut, seperti yang terlihat dalam perjanjian pertahanannya dengan negara lain seperti Pakistan.
Namun, keandalan laporan Alert 5 harus diteliti dengan saksama. Klaim tersebut bergantung pada "sumber yang memahami masalah tersebut," frasa umum dalam pelaporan pertahanan yang dapat mengaburkan kredibilitas informasi tersebut.
Satu kemungkinan adalah bahwa laporan tersebut mencerminkan upaya China untuk mempromosikan J-10 di pasar global. China telah memasarkan produk pertahanannya secara agresif dalam beberapa tahun terakhir, dengan J-10 yang mendapatkan daya tarik di negara-negara seperti Pakistan.
Waktu laporan tersebut, menjelang Indo-Defence Expo, dapat menunjukkan kebocoran strategis oleh pejabat China untuk menarik minat atau menekan Indonesia agar membuat kesepakatan. Atau, laporan tersebut dapat bersifat spekulatif, didorong oleh eksplorasi berkelanjutan Indonesia terhadap opsi yang hemat biaya daripada komitmen konkret.
Perkembangan regional terkini juga dapat memengaruhi minat Indonesia. Ketegangan antara Pakistan dan India, khususnya pertikaian udara mereka pada tahun 2019, menyoroti kemampuan J-10 ketika J-10C Pakistan dilaporkan tampil baik melawan jet tempur India.
Hal ini dapat menggelitik minat Indonesia, karena J-10 menawarkan platform yang terbukti dan relatif modern dengan biaya yang lebih rendah daripada alternatif Barat. Namun, keputusan untuk memperoleh pesawat bekas menimbulkan pertanyaan tentang kondisinya, sisa masa pakai, dan kompatibilitasnya dengan sistem yang ada di Indonesia, yang sebagian besar berasal dari Barat atau Rusia.
J-10, yang sering disebut sebagai "Naga yang Kuat," adalah landasan angkatan udara modern China, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara jet tempur generasi ketiga dan keempat. Pertama kali diterbangkan pada tahun 1998 dan mulai beroperasi dengan PLAAF pada tahun 2004, J-10 telah berevolusi melalui beberapa varian, masing-masing menggabungkan peningkatan bertahap dalam avionik, mesin, dan senjata.
Model dasar, J-10A, memiliki konfigurasi sayap delta dengan canard, yang memberikan kemampuan manuver yang sangat baik. Pesawat ini didukung oleh satu mesin Saturn AL-31F, mesin rancangan Rusia yang juga digunakan dalam Su-27, yang menghasilkan daya dorong sebesar 27.557 pon dan kecepatan tertinggi Mach 2,2.
Baca Juga: Rusia Tembak Jatuh Jet Tempur F-16 Sebelum Sempat Luncurkan Rudal
J-10C, varian paling canggih, mulai beroperasi pada tahun 2018 dan memiliki mesin WS-10B yang dikembangkan di dalam negeri, menggantikan AL-31F Rusia. Radar AESA J-10C meningkatkan deteksi dan pelacakan target, sementara kemampuannya untuk membawa rudal PL-15 canggih, dengan jangkauan melebihi 120 mil, membuatnya kompetitif dengan pesawat tempur Barat seperti F-16 Block 70.
J-10C juga mencakup fitur peningkatan siluman, seperti lapisan penyerap radar, meskipun itu bukan pesawat siluman sejati. Menurut laporan tahun 2023 oleh Voennen-bg.com, J-10 dianggap sebagai pesaing langsung F-16 dan Su-27, yang mampu melakukan misi superioritas udara dan serangan darat.
Bagi Indonesia, J-10 menawarkan beberapa keunggulan. Kemampuan multiperannya sejalan dengan kebutuhan TNI-AU akan platform serbaguna untuk mengatasi berbagai ancaman, mulai dari pertahanan udara hingga patroli maritim.
J-10A memiliki radius tempur sekitar 550 mil dan dapat membawa hingga 12.000 pon persenjataan, termasuk rudal udara-ke-udara PL-12, bom berpemandu laser, dan rudal antikapal.
J-10B, yang diperkenalkan pada tahun 2013, menggabungkan peningkatan seperti radar active electronically scanned array [AESA], sistem peperangan elektronik yang ditingkatkan, dan saluran masuk supersonik tanpa pengalih untuk kinerja mesin yang lebih baik.
Baca Juga: China Pindahkan Satelit untuk Bantu Pakistan Tembak Jatuh Jet Tempur India
Biaya akuisisi dan pengoperasian pesawat yang relatif rendah menjadikannya pilihan yang menarik dibandingkan dengan Rafale, yang harganya jauh lebih mahal. Kompatibilitas J-10 dengan mesin Rusia juga dapat menyederhanakan perawatan bagi Indonesia, yang sudah mengoperasikan Su-27 dan Su-30.
Namun, mengintegrasikan platform China ke dalam armada yang didominasi oleh sistem Barat dan Rusia menimbulkan tantangan logistik, termasuk pelatihan, suku cadang, dan interoperabilitas. Selain itu, kondisi J-10 bekas menjadi perhatian penting, karena rangka pesawat yang lebih tua mungkin memiliki masa pakai yang terbatas dan memerlukan perbaikan yang mahal.
Dari sudut pandang kritis, minat Indonesia terhadap J-10 dapat mencerminkan kompromi yang pragmatis daripada preferensi strategis. Performa pesawat, meskipun terhormat, tidak sebanding dengan avionik canggih Rafale atau tenaga mentah Su-35.
Pemilihannya dapat menunjukkan solusi jangka pendek untuk menjembatani kesenjangan kemampuan sementara Indonesia menunggu pengiriman Rafale atau pengembangan lebih lanjut KF-21.
Alternatifnya, langkah tersebut dapat menandakan keselarasan yang lebih dalam dengan China, yang telah memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara melalui kerja sama ekonomi dan militer.
Namun, pergeseran tersebut berisiko memperburuk hubungan dengan Amerika Serikat, yang secara historis memandang ekspor pertahanan China dengan curiga.
Dilaporkan bahwa kesepakatan Su-35 kembali dilanjutkan dan menambah lapisan kompleksitas lainnya. Su-35, pesawat tempur bermesin ganda yang sangat lincah, menawarkan kinerja yang unggul dalam pertempuran udara-ke-udara, dengan radar Irbis-E yang mampu melacak 30 target pada jarak 400 kilometer dan menyerang delapan target secara bersamaan.
Kemampuannya untuk melakukan supercruise—mempertahankan kecepatan supersonik tanpa afterburner—memberikannya keunggulan atas J-10 dalam skenario tertentu. Namun, biaya Su-35 yang tinggi dan ancaman sanksi CAATSA yang masih ada menjadikannya pilihan yang berisiko.
Laporan tahun 2020 mengutip pernyataan komandan pertahanan udara Indonesia, Eris Haryanto, yang menggambarkan Su-35 sebagai "tidak efisien dibandingkan dengan pesawat yang lebih modern," meskipun klaim ini mungkin mencerminkan tekanan AS daripada penilaian objektif.
Kelayakan Indonesia untuk memperoleh J-10 bergantung pada beberapa faktor. Secara ekonomi, kesepakatan itu tampak layak, karena pesawat bekas akan sesuai dengan anggaran Indonesia yang terbatas. Secara strategis, kesepakatan itu dapat memperkuat hubungan dengan China, mitra dagang utama, sambil mempertahankan sikap non-blok Indonesia. Namun, risiko geopolitiknya signifikan.
Baca Juga: 100 Hari Memimpin, Trump Tambah 21 Jet Tempur F-15EX, untuk Garda Nasional Michigan
Amerika Serikat, yang telah memengaruhi keputusan Indonesia untuk membatalkan kesepakatan Su-35, dapat menanggapi dengan tekanan diplomatik atau sanksi berdasarkan CAATSA, seperti yang terlihat dalam peringatannya kepada Mesir atas kesepakatan Rusia yang serupa.
Laporan Bloomberg tahun 2020 mencatat bahwa Mesir menghadapi ancaman sanksi AS atas pembelian Su-35-nya, yang menyebabkan pembatalannya.
Selain itu, keandalan J-10 bekas masih belum diketahui secara pasti. Meskipun kinerja pesawat ini terdokumentasi dengan baik, rangka pesawat yang lebih tua mungkin memerlukan perawatan yang ekstensif, sehingga mengimbangi penghematan biaya awal.
Tantangan integrasi, termasuk pelatihan pilot dan manajemen rantai pasokan, dapat semakin mempersulit kesepakatan tersebut. Pengalaman Indonesia dengan pesawat Rusia, yang menghadapi masalah perawatan, menunjukkan kehati-hatian dalam mengadopsi platform non-Barat lainnya.