Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - MANILA/HONG KONG. Pada Februari tahun lalu, para pejabat senior Filipina menghadapi pilihan sulit di Presidential Situation Room. Saat itu, penjaga pantai Filipina menunjukkan foto-foto yang diklaim sebagai, laser, militer China, yang diarahkan ke kapal Filipina di perairan sengketa.
Eduardo Ano, Penasihat Keamanan Nasional, memutuskan untuk merilis foto-foto tersebut meskipun berisiko memancing kemarahan China. "Masyarakat berhak mengetahuinya," kata Ano.
Keputusan ini menjadi titik balik dalam kebijakan transparansi Manila, yang bertujuan merusak reputasi dan kedudukan China.
Baca Juga: Laut China Selatan Memanas, Filipina Serukan Pengusiran Diplomat China
Jonathan Malaya, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Filipina, mengatakan bahwa Presiden Ferdinand Marcos Jr. mendorong untuk menginternasionalkan perselisihan tersebut dengan melibatkan penjaga pantai dan jurnalis asing dalam misi mereka.
Memublikasikan tindakan China, serta memperkuat aliansi militer dengan AS, membatasi eskalasi China di laut, meskipun berisiko memicu pembalasan ekonomi dan keterlibatan AS.
Pada Februari 2023, beberapa hari setelah Marcos memberikan akses lebih kepada AS di pangkalan militer Filipina, ketegangan meningkat.
Ian Storey, pakar keamanan di ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura, mengatakan bahwa China harus berhati-hati agar tidak memicu konfrontasi militer dengan AS. Marcos juga mendapatkan dukungan diplomatik dari negara-negara seperti Kanada, Jerman, India, dan Jepang.
Baca Juga: Laut China Selatan Memanas, Filipina Bakal Beli Lima Kapal Patroli dari Jepang
Laut China Selatan, yang kaya akan minyak dan gas serta dilalui perdagangan senilai US$ 3 triliun setiap tahun, menjadi medan penting dalam persaingan geopolitik. China, yang klaimnya dibatalkan oleh pengadilan internasional pada 2016, menuduh kapal Filipina menyusup secara ilegal ke perairan mereka.
Filipina dan China kerap terlibat bentrokan di Scarborough Shoal dan Second Thomas Shoal, tempat Filipina mendaratkan kapal perang BRP Sierra Madre. Pada bulan Maret, kapal China menghancurkan kaca kapal Filipina dengan meriam air, insiden yang dirilis Manila dalam rekaman video.
Kapal-kapal China juga memasang penghalang di pintu masuk Scarborough Shoal pada Februari. Minggu ini, kedua negara saling tuduh terkait tabrakan kapal di Second Thomas Shoal.
Jay Tarriela, juru bicara Penjaga Pantai Filipina, mengklaim bahwa upaya transparansi telah berhasil menggalang dukungan internasional tanpa meningkatkan agresi China.
Baca Juga: Jurus Jitu Anies Hadapi Konflik Laut China Selatan
Jumlah kapal China di Second Thomas Shoal meningkat dari satu pada 2021 menjadi 14 pada 2023. Baru-baru ini, penjaga pantai China mendekati Sierra Madre dan menyita pasokan yang dikirim ke sana. Pejabat Filipina khawatir insiden seperti ini bisa memicu permusuhan terbuka.
Duta Besar Filipina untuk Washington, Jose Manuel Romualdez, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi tekanan ekonomi dari China. Tahun 2023, China adalah pasar ekspor terbesar kedua Filipina dan sumber impor utamanya.
Menurut Edcel John Ibarra, ilmuwan politik dari Universitas Filipina, Marcos berisiko memprovokasi China, yang dapat merespons dengan hambatan non-tarif dan pembatasan pariwisata.
Pada Mei lalu, China mengumumkan kebijakan baru yang memungkinkan penjaga pantai menahan orang asing tanpa pengadilan selama 60 hari.
Kebijakan transparansi Filipina telah mengejutkan negara-negara tetangganya, seperti Vietnam dan Malaysia, yang lebih berhati-hati dalam sengketa maritim dengan China. Diplomat Asia yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa Filipina telah menyusun strategi baru untuk menghadapi Beijing.
Baca Juga: Filipina Kian Berani Menghadapi China dalam Sengketa di Laut China Selatan
Aliansi dengan AS menjadi aspek kunci dari pendekatan Manila. Pada Mei lalu, kedua negara memperjelas bahwa perjanjian pertahanan mereka mencakup penjaga pantai. Marcos juga berpartisipasi dalam pertemuan puncak dengan AS dan Jepang pada April.
Beberapa cendekiawan China, seperti Zha Daojiong dari Universitas Peking, mengatakan bahwa situasinya menemui jalan buntu dan China akan tetap reaktif terhadap konflik di Second Thomas Shoal untuk menjaga klaim mereka.
Filipina terus mendorong diplomasi meskipun tantangan di Laut China Selatan tetap tinggi.