kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Sistem perbankan China sudah bangkrut (2)


Kamis, 08 Agustus 2019 / 12:38 WIB
Pengamat: Sistem perbankan China sudah bangkrut (2)


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Situs The Market memuat wawancara soal perekonomian China dengan Michael Pettis, seorang profesor keuangan di Universitas Peking. Dia memperingatkan akan adanya hutang besar yang membebani perekonomian Tiongkok. Menurutnya, stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.

Hanya sedikit pengamat western yang mengetahui China sebaik Michael Pettis. Dia telah tinggal di Beijing selama 17 tahun, untuk mengajar keuangan di Guanghua School of Management di Universitas Peking. Di sini, spesialisasinya adalah pasar finansial China.

Baca Juga: Pengamat: Pertumbuhan PDB China yang sebenarnya sudah di bawah 3%

Dalam wawancara mendalam dengan The Market, dia berbicara soal perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS), sekaligus semakin sulitnya mencapai kesepakatan setelah mengalami beberapa kali pertemuan. "Xi Jinping menganggap enteng Trump. Dia salah membaca Trump," kata Pettis.

Menurutnya, konflik perdagangan memukul China pada saat yang buruk. "Perekonomian China saat ini benar-benar rentan. Xi harus cepat melakukan reformasi ekonomi domestik. Semua orang di sini tahu ada masalah utang yang sangat serius di China, berdetik layaknya bom waktu," katanya.

Baca Juga: Demi jegal Trump agar tak terpilih lagi, China rela perekonomiannya merosot

Presiden Xi, Pettis menambahkan, banyak mendapat tentangan, baik dari partai maupun oposisi di level elit. Tak jarang, Xi memenjarakan mereka selama kampanye antikorupsi. "Sehingga, perang dagang sangat penting dari padangan itu. Harapan terhadap Beijing adalah mereka bisa mendapatkan solusi yang diterima banyak pihak tanpa harus mengubah banyak hal. Sebab, semakin sektor ekspor dilemahkan, semakin tinggi utang yang diciptakan," jelasnya.

Dengan kata lain, jika China kehilangan momentum di sektor ekspor, mereka membutuhkan lebih banyak utang untuk mendanai investasi domestik untuk mendongkrak pertumbuhan. Menurut Pettis, hal ini bertentangan dengan kebutuhan Negeri Panda untuk menurunkan utang. "Jadi perang dagang sangat penting. Sangat berisiko bagi Beijing untuk meningkatkan konfrontasi. Karena jika Washington tidak mundur, maka China terpaksa menjadi pendukung dan itu adalah hal yang sangat memalukan, atau mereka akan menghadapi lingkungan perdagangan yang sangat sulit," analisanya.

Baca Juga: Miliarder China yang sukses mengembangkan chip untuk bitcoin (1)

Saat ditanyakan seberapa sehat sistem perbankan China, Pettis memberikan jawaban yang mengejutkan. "Sistem perbankan China bangkrut. Itu bangkrut, tetapi dijamin oleh negara. Ketika saya pertama kali datang ke Tiongkok 17 tahun yang lalu, ada banyak bank yang beroperasi di sini. Tetapi pada 2007, banyak bank yang setop beroperasi karena sistem kredibilitas perbankan meningkat pesat. Ada kepercayaan bahwa pemerintah akan menjamin simpanan. Sekarang jaminan itu eksplisit. Jadi selama orang mempercayai jaminan pemerintah, tidak akan ada bank yang beroperasi," urainya panjang lebar.

Selama ini banyak orang yang mengira China dapat menggunakan cadangan mata uangnya yang besar untuk mencegah perlambatan ekonomi. Namun, lagi-lagi, Pettis meragukannya.  Menurutnya, cadangan yang besar hanya membantu China jika mereka memiliki banyak utang luar negeri.

Masalahnya adalah China memiliki utang dalam negeri yang sangat besar. Pettis menegaskan, cadangan mata uang besar bukanlah tanda kekuatan, melainkan tanda distorsi domestik yang signifikan.

"Alasan suatu negara membangun cadangan besar biasanya jika mereka memiliki permintaan domestik yang rendah. Coba lihat sejarah: Tiga negara dengan cadangan devisa terbesar dalam 100 tahun terakhir adalah AS pada tahun 1929, China saat ini, dan Jepang pada akhir tahun 1980-an. Dalam kasus AS, cadangan itu tidak mencegah terjadinya Depresi Hebat. Di Jepang, cadangan itu tidak menyelamatkan mereka dari stagnasi ekonomi selama dua dekade," paparnya.

Baca Juga: Di tengah tekanan perang dagang, ekspor China mampu tumbuh 3,3% pada Juli

Di sisi lain, China memiliki surat utang AS dengan nilai lebih dari US$ 1,2 triliun. Kendati demikian, China tidak dapat menggunakannya sebagai senjata dalam perang dagang. "Beberapa orang mengatakan China bisa menjual obligasi dan mencederai AS. Itu tidak masuk akal. Itu tidak akan menciptakan gangguan di pasar, karena The Fed dan investor lain dapat membelinya," jelasnya.

Dia juga menjelaskan, China tidak membeli obligasi ini sebagai bantuan, atau tidak membantu AS dengan memberikan pinjaman. Kepemilikan surat utang AS hanya disebabkan karena China mengalami surplus akun berjalan dan perlu menjaga mata uang agar tidak menguat terlalu banyak.

"Mari kita asumsikan mereka menjual semuanya. Apa yang akan mereka lakukan dengan uang itu? Jika mereka membawanya kembali ke China, yuan akan menguat. Beijing tidak menginginkan itu. Apa lagi yang bisa mereka lakukan? Baik orang Eropa maupun Jepang tidak ingin mereka membeli euro dan yen. Secara teori, mereka bisa meminjamkan ke negara-negara berkembang, tetapi orang China memiliki pengalaman yang sangat buruk dalam meminjamkan ke negara-negara berkembang," paparnya.

(selesai)




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×