Sumber: Reuters | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SYDNEY. Australia mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah kegagalan transaksi akuisisi besar sepanjang tahun ini dengan nilai yang diperkirakan mencapai US$ 40 miliar. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Tingginya angka kegagalan transaksi merger dan akuisisi ini seiring meningkatnya risiko regulasi dan perbedaan valuasi antar pihak yang terlibat. Situasi ini mencerminkan betapa rumitnya lanskap perizinan dan pengawasan dalam dunia investasi di Negeri Kanguru.
Contoh terbaru adalah kegagalan kesepakatan senilai US$ 18,7 miliar yang dipimpin oleh konsorsium ADNOC untuk mengakuisisi Santos, produsen gas terbesar kedua di Australia. Melalui kendaraan investasinya, XRG, ADNOC memutuskan mundur dari rencana akuisisi tersebut karena adanya ketidaksepakatan terkait potensi kewajiban pajak capital gain atas salah satu aset milik Santos.
Baca Juga: Inflasi Australia Agustus Paling Tinggi Setahun, RBA Tetap Hati-hati
Menurut laporan Reuters pekan lalu, kesepakatan itu kemungkinan besar juga akan menghadapi tantangan besar dalam proses persetujuan oleh Foreign Investment Review Board (FIRB) Australia. Jika ditambahkan dengan utang bersih Santos, penawaran tersebut merupakan penawaran tunai terbesar dalam sejarah transaksi akuisisi di Australia.
Gagalnya kesepakatan ini mendorong total nilai akuisisi yang batal menjadi yang tertinggi sejak 2010, berdasarkan data dari LSEG. Hal ini menimbulkan keraguan baru mengenai kelayakan dan realisasi transaksi skala besar di tengah iklim regulasi yang semakin ketat di Australia.
Proses persetujuan yang panjang melibatkan Komisi Persaingan dan Konsumen Australia alias Australian Competition and Consumer Commission (ACCC), FIRB, dan berbagai lembaga pemerintah lainnya dianggap memperlambat dan mempersulit pelaksanaan kesepakatan.
Padahal secara teori, kondisi pasar seharusnya mendukung aktivitas merger dan akuisisi (M&A). Pasar modal berada di level tertinggi dan pembiayaan, baik melalui utang maupun ekuitas, tersedia luas. Namun menurut Garren Cronin, Direktur Pelaksana di firma penasihat Cadence Advisory, berbagai tantangan baru membuat investor lebih berhati-hati.
Ia menyoroti perubahan teknologi yang cepat serta aturan baru dari ACCC yang mulai berlaku pada 1 Januari yang mewajibkan persetujuan regulasi sebelum transaksi telah menciptakan hambatan tambahan dalam proses M&A.
"Jangkauan regulasi yang berlebihan, khususnya dari ACCC, telah menciptakan ketidakpastian yang kompleks," kata Cronin. Menurut dia, langkah ACCC untuk mewajibkan proses persetujuan formal memberikan beban nyata bagi aktivitas transaksi.
Di bawah aturan sebelumnya, perusahaan masih memiliki opsi untuk secara sukarela mengajukan permohonan ke ACCC guna menghindari potensi intervensi di kemudian hari. Namun kini, hampir semua transaksi besar harus melalui proses persetujuan yang wajib dan menyeluruh.
Meski begitu, juru bicara ACCC mengatakan aturan baru ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara mencegah akuisisi yang bersifat anti-persaingan dengan tetap memberikan kepastian bagi akuisisi yang berdampak rendah terhadap persaingan pasar. Termasuk di dalamnya adalah opsi pengajuan pembebasan (waiver) untuk akuisisi yang dinilai tidak berdampak besar.
Namun dalam praktiknya, para penasihat menilai semakin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses regulasi meningkatkan risiko kegagalan transaksi.
"Dalam dunia M&A, waktu bisa membunuh kesepakatan," ujar Lance Sacks, mitra korporasi di Baker McKenzie. Dia menyebut, begitu momentum hilang, sangat sulit untuk memulihkannya. Gap valuasi juga masih menjadi kendala besar. Pendanaan memang tersedia, tapi harus masuk akal secara ekonomi. Dewan dan pembeli jauh lebih hati-hati sekarang.
Tak hanya kesepakatan ADNOC-Santos, beberapa transaksi besar lain juga mengalami nasib serupa. Pada Agustus lalu, Peabody Energy menarik tawarannya senilai US$ 3,8 miliar untuk aset batu bara Anglo di Queensland. Sementara Brookfield dan Bain juga mundur dari rencana akuisisi senilai US$ 2,5 miliar untuk Insignia Financial pada awal 2025.
Adapun Insignia akhirnya menandatangani kesepakatan buyout senilai US$ 2,2 miliar dengan perusahaan asal New York, CC Capital, pada Juli.
Menurut David Eliakim, pimpinan praktik M&A di firma hukum KWM, banyak calon pembeli kini mencoba mengantisipasi lebih awal potensi masalah regulasi, baik dari ACCC, FIRB, maupun otoritas pajak. Proses ini membuat diskusi pra-penandatanganan dokumen semakin kompleks dan penuh tekanan.
"Hal ini membuat isu-isu sulit harus dibahas sejak awal, menciptakan lebih banyak stres dan ketegangan sebelum dokumen resmi ditandatangani. Ujung-ujungnya, hal ini bisa menentukan apakah sebuah transaksi jadi dilaksanakan atau tidak," ungkap Eliakim.
Dengan semua tantangan ini, masa depan transaksi besar di Australia tampaknya akan semakin penuh kehati-hatian, dengan regulasi menjadi faktor penentu utama dalam setiap langkah.