Sumber: ABC News | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Harga aset kripto anjlok dalam beberapa minggu terakhir, menghapus sebagian besar lonjakan besar yang terjadi setelah Donald Trump menang dalam pemilu.
Harga Bitcoin merosot hampir sepertiga dari level tertingginya di Oktober dan pada Senin kemarin tercatat di sekitar US$86.340. Ethereum—mata uang kripto terbesar kedua—jatuh lebih dalam lagi, turun sekitar 40% dalam satu bulan terakhir.
Total nilai pasar kripto (berdasarkan kapitalisasi pasar) susut lebih dari US$1 triliun dalam periode itu, menurut catatan Jim Reid, analis riset di Deutsche Bank.
Seberapa jauh harga kripto jatuh?
Kemenangan Trump, yang menyebut dirinya sebagai “presiden kripto pertama,” sempat memicu ledakan harga aset digital.
Mengutip ABC News, Bitcoin melonjak 40% hanya dalam hitungan minggu dan untuk pertama kalinya tembus US$ 100.000 pada Desember lalu. Setelah sempat melemah di musim semi, Bitcoin kembali melesat ke rekor baru sekitar US$ 126.270 pada 6 Oktober.
Namun dalam beberapa minggu terakhir, harga Bitcoin turun hampir US$ 40.000 atau sekitar sepertiga dari puncaknya. Meski begitu, harga saat ini masih lebih tinggi 25% dibanding posisi ketika pasar dibuka pada Hari Pemilu November lalu.
Volatilitas seperti ini bukan hal baru bagi Bitcoin, yang sudah berusia sekitar 15 tahun. Pada 2022, Bitcoin sempat jatuh lebih dari 60%. Penurunan besar juga terjadi pada dua tahun sebelumnya, ketika pandemi memicu aksi jual dan beli besar-besaran.
Baca Juga: Siap-Siap! Elon Musk Ramalkan Pekerjaan Akan Punah dalam 20 Tahun
“Kita sudah sering melihat crash kripto,” kata Hilary Allen, profesor hukum dari American University yang meneliti kebijakan cryptocurrency. Ia menilai harga kripto tidak punya nilai dasar yang bisa menjadi jangkar harga.
“Dengan aset seperti kripto, kadang anginnya mengempis sendiri,” lanjutnya.
Apa penyebab kejatuhan harga kripto?
Para ahli yang diwawancarai ABC News menyebut penurunan pasar saham dan tanda-tanda bahwa The Fed mungkin menunda pemangkasan suku bunga sebagai pemicu utama aksi jual kripto.
Koreksi pasar saham beberapa hari terakhir menunjukkan meningkatnya ketidakpastian ekonomi, sebagian investor bahkan memperingatkan kemungkinan gelembung AI. Perusahaan teknologi besar menghabiskan ratusan miliar dolar untuk membangun pusat data dan mengembangkan AI yang haus energi, namun hasil finansialnya masih belum jelas.
Saham Nvidia, produsen chip besar yang menopang teknologi AI, turun hampir 10% sejak akhir Oktober. Indeks Nasdaq, yang didominasi saham teknologi, turun sekitar 4% dalam periode yang sama.
Baca Juga: Krisis Chip Murah dari Tiongkok Kacaukan Industri Mobil Dunia
“Saat turun, saham teknologi dan kripto biasanya bergerak seirama. Keduanya dianggap aset berisiko, jadi investor memperlakukannya mirip dalam portofolio mereka,” kata Bryan Armour, Direktur Riset Strategi Pasif di Morningstar.
Sebagian investor kripto berharap penurunan suku bunga berikutnya bisa menjadi katalis reli baru. Namun harapan itu mulai goyah.













