Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - YERUSALEM/WASHINGTON. Serangan mendadak Israel terhadap Iran pada Jumat (13/6) secara jelas bertujuan untuk mengganggu secara signifikan program nuklir Teheran dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan negara itu untuk mengembangkan senjata atom.
Namun, skala serangan, pemilihan target, dan pernyataan para politisi Israel mengindikasikan adanya tujuan jangka panjang lainnya, menggulingkan rezim Iran itu sendiri.
Serangan yang terjadi pada Jumat dini hari itu tidak hanya menghantam fasilitas nuklir dan pabrik rudal Iran, tetapi juga menargetkan tokoh-tokoh kunci dalam rantai komando militer dan ilmuwan nuklir negara tersebut.
Baca Juga: Iran: Pembicaraan Nuklir dengan AS "Tak Bermakna" Usai Serangan Israel
Para ahli menilai pukulan ini bertujuan melemahkan kredibilitas Iran, baik di dalam negeri maupun di mata sekutu-sekutunya di kawasan — faktor-faktor yang bisa mengguncang kepemimpinan Teheran.
"Salah satu alasan Israel melakukan ini kemungkinan karena mereka berharap akan terjadi pergantian rezim," kata Michael Singh dari Washington Institute for Near East Policy, yang juga mantan pejabat senior di pemerintahan Presiden George W. Bush.
"Mereka ingin melihat rakyat Iran bangkit," tambahnya, seraya mencatat bahwa minimnya korban sipil dalam gelombang awal serangan mencerminkan adanya tujuan yang lebih luas.
Seruan Langsung Netanyahu kepada Rakyat Iran
Dalam pidato video yang disampaikan tak lama setelah jet-jet tempur Israel menyerang fasilitas nuklir dan sistem pertahanan udara Iran, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pesan langsung kepada rakyat Iran.
Ia menyebut bahwa aksi Israel terhadap sekutu Iran, Hizbullah, telah berujung pada terbentuknya pemerintahan baru di Lebanon dan runtuhnya rezim Assad di Suriah.
Baca Juga: Serangan Israel ke Iran, Rusia: Tak Beralasan dan Langgar Piagam PBB
Menurut Netanyahu, rakyat Iran pun memiliki kesempatan yang sama.
"Saya percaya hari pembebasan Anda sudah dekat. Dan ketika saat itu tiba, persahabatan besar antara dua bangsa kuno kita akan berkembang kembali," ujar Netanyahu.
Namun, meskipun Israel telah menimbulkan kerusakan besar melalui serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menimbulkan keraguan atas kemungkinan munculnya dukungan publik yang cukup besar untuk menggulingkan rezim teokratis yang sudah mengakar dan dijaga oleh pasukan keamanan yang loyal.
Singh pun mengingatkan bahwa tak ada yang benar-benar tahu kondisi seperti apa yang bisa memungkinkan terbentuknya oposisi kuat di Iran.
Operasi Militer Berkepanjangan
Serangan pada hari Jumat itu merupakan fase pertama dari operasi yang menurut Israel akan berlangsung dalam jangka waktu panjang.
Para analis memperkirakan bahwa Israel akan terus menargetkan infrastruktur nuklir utama Iran guna menunda upaya Teheran mengembangkan bom nuklir, meskipun secara kemampuan militer, Israel diyakini tidak mampu sepenuhnya melenyapkan program nuklir Iran seorang diri.
Baca Juga: Iran Tuding AS Terlibat Serangan Israel, PBB Jadi Arena Adu Argumen
Iran sendiri bersikeras bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan sipil. Namun, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyimpulkan minggu ini bahwa Iran telah melanggar kewajibannya di bawah perjanjian non-proliferasi nuklir global (NPT).
Serangan gelombang pertama Israel menargetkan para tokoh senior di jajaran militer dan ilmuwan Iran, menghancurkan sebagian besar sistem pertahanan udara negara itu, serta meratakan fasilitas pengayaan uranium yang berada di atas permukaan tanah.
"Sebagai negara demokrasi, Israel percaya bahwa rakyat suatu negara berhak membentuk arah politik nasional mereka sendiri dan memilih pemerintahan mereka," kata Kedutaan Besar Israel di Washington kepada Reuters.
"Masa depan Iran hanya bisa ditentukan oleh rakyat Iran."
Netanyahu sendiri sebelumnya, termasuk pada September lalu, telah secara terbuka menyerukan perubahan pemerintahan di Iran.
Baca Juga: Investor Serbu Safe Haven dan Minyak, Wall Street Jatuh di Tengah Konflik Israel-Iran
AS Mendukung Diam-Diam
Pemerintahan Presiden Donald Trump tidak secara terbuka menyatakan mendukung perubahan rezim, namun memberikan lampu hijau terhadap serangan Israel dan membantu sekutunya itu menghadapi serangan rudal balasan dari Iran.
Gedung Putih maupun misi Iran untuk PBB di New York belum memberikan komentar atas hal ini.
Israel masih memiliki jalan panjang jika ingin benar-benar membongkar program nuklir Iran. Para analis militer sejak lama menyatakan bahwa hampir mustahil untuk sepenuhnya melumpuhkan situs-situs nuklir Iran yang tersebar dan dibentengi dengan kuat.
Pemerintah Israel sendiri telah memperingatkan bahwa menghentikan program nuklir Iran secara total tidak bisa dicapai hanya lewat operasi militer.
"Tidak ada cara untuk menghancurkan program nuklir melalui jalur militer," kata Penasihat Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi kepada saluran TV Channel 13.
Namun, kampanye militer dapat menciptakan kondisi untuk kesepakatan baru dengan Amerika Serikat guna menggagalkan ambisi nuklir Iran.
Baca Juga: Harga Emas Dunia Tembus US$3.428 Jumat (13/6), Terdorong Ketegangan Israel-Iran
Para analis juga skeptis apakah Israel memiliki persenjataan yang cukup untuk sepenuhnya menghancurkan proyek nuklir Iran tanpa keterlibatan langsung AS.
"Israel mungkin tidak mampu sepenuhnya melenyapkan proyek nuklir Iran tanpa bantuan Amerika," kata Sima Shine, mantan analis senior Mossad yang kini menjadi peneliti di Institute for National Security Studies Israel.
Meski memundurkan program nuklir Iran tentu menjadi keuntungan strategis, harapan atas pergantian rezim mungkin menjadi alasan Israel menargetkan begitu banyak tokoh militer senior, langkah yang berpotensi membuat sistem keamanan Iran kacau.
"Orang-orang ini sangat penting, sangat berpengalaman, telah lama menjabat, dan menjadi elemen kunci dari stabilitas rezim, terutama dalam aspek keamanannya," kata Shine.
"Dalam dunia ideal, Israel tentu lebih memilih melihat adanya perubahan rezim, itu sudah jelas," tambahnya.
Namun perubahan semacam itu tentu membawa risiko, ujar Jonathan Panikoff, mantan wakil direktur intelijen nasional AS untuk kawasan Timur Tengah yang kini berkiprah di lembaga think-tank Atlantic Council.
Jika Israel berhasil menyingkirkan pemimpin Iran saat ini, tidak ada jaminan bahwa pemerintahan pengganti akan lebih moderat atau lebih bersahabat terhadap Israel.
"Selama bertahun-tahun, banyak kalangan di Israel bersikeras bahwa perubahan rezim di Iran akan membuka lembaran baru yang lebih baik bahwa tidak mungkin ada yang lebih buruk daripada rezim teokratis saat ini," kata Panikoff.
"Tapi sejarah menunjukkan, selalu ada kemungkinan sesuatu yang lebih buruk bisa muncul."