kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Iran, Rusia, China, Turki merayakan kekacauan di Amerika


Kamis, 04 Juni 2020 / 08:55 WIB
Iran, Rusia, China, Turki merayakan kekacauan di Amerika
ILUSTRASI. Unjuk rasa kasus Minneapolis. REUTERS/Jeenah Moon


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Kekacauan disertai kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat menjadi perhatian dunia. Jerusalem Post memberitakan, sejumlah negara tampak 'happy' dengan kejadian tersebut. Pada hari Senin (1/6/2020), misalnya, media Iran banyak memberitakan sejumlah kisah yang menyoroti "keruntuhan" AS dengan mengutip sumber-sumber dari Rusia.

Mengutip Jerusalem Post, AS menjadi negara paling kuat di dunia setelah Uni Soviet dan negara-negara sekutunya hancur berantakan pada tahun 1989. Namun, Rusia, China, Iran, dan Turki berusaha untuk bekerja sama lebih erat dan sering duduk di forum global yang tidak dihadiri AS.

Disebutkan, demi mengoordinasikan upaya melawan AS, negara-negara ini memiliki media pemerintah yang didanai dengan baik, seperti RT, TRT, Tasnim and Fars News Iran dan sejumlah media Tiongkok. Kebijakan negara-negara ini adalah perlahan-lahan merusak AS dan menunggu saat-saat kelemahan AS untuk mendorong agenda mereka.

Baca Juga: Ada tuduhan pidana baru, empat polisi Minneapolis dituntut atas kematian George Floyd

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan baru-baru ini terkait kerusuhan di AS, dengan mengatakan bahwa Amerika adalah bagian dari "tatanan yang tidak adil" di dunia.

Mantan presiden Iran membuat komentar serupa tentang tatanan AS yang terus menurun. Ini merupakan referensi ke konsep poros perlawanan di Iran, dan kekalahan arogansi AS. 

Baca Juga: Duh, Menteri Pertahanan AS sebut tempat-tempat aksi protes sebagai battlespace

Saat ini, aksi protes di AS dan krisis Covid-19 telah menyebabkan situasi di Washington menurun dengan cepat. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa AS sekarang harus berurusan dengan kesalahan polisi dan membanding-bandingkan AS dengan Rusia. "Syukurlah, hal-hal yang terjadi di Amerika tidak terjadi di Rusia," katanya seperti yang ditulis media TASS Rusia.

NBCNews juga menuliskan berita yang sama. China, Rusia dan Iran menggunakan media yang disponsori negara untuk menyerang AS atas pembunuhan George Floyd dan kerusuhan sipil yang terjadi. Menurut sebuah laporan yang dirilis Rabu (3/6/2020) oleh sebuah perusahaan swasta,  tidak ada bukti adanya operasi pengaruh online yang mirip dengan campur tangan Rusia dalam kampanye presiden 2016.

"Musuh AS menggunakan gejolak di media tradisional dan sosial dengan menggunakan narasi mereka yang sedemikian rupa," demikian bunyi laporan oleh Graphika, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis volume besar lalu lintas media sosial, seperti yang dikutip dari NBCNews.

Baca Juga: Perusahaan besar Amerika mengutuk keras kematian George Flyod

Ketiga negara menggunakan kehadiran editorial online mereka yang substansial untuk mengkritik pembunuhan Floyd, reaksi polisi terhadap protes, dan Presiden Donald Trump. Akan tetapi, menurut laporan itu, tujuan mereka tampaknya berbeda.

“Tujuan utama Tiongkok tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS atas tindakan keras Tiongkok terhadap Hong Kong. Tujuan utama Iran tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS terhadap catatan hak asasi manusia Iran dan untuk menyerang sanksi AS," kata laporan tersebut. 

Baca Juga: Inilah kronologis yang terjadi di menit-menit terakhir hidup George Floyd

Ditambahkan pula, “Media-media yang dikendalikan oleh Rusia sebagian besar terfokus pada fakta-fakta aksi protes, sejalan dengan praktik yang sudah berlangsung lama dalam meliput unjuk rasa di Barat; beberapa konten editorial individual juga menyerang kritikus Kremlin dan media arus utama."

"Malam ini, aktivitas media sosial tentang # protes & reaksi balasan dari akun media sosial terkait dengan setidaknya 3 musuh asing. Mereka tidak membuat divisi ini. Tapi mereka aktif memicu & mempromosikan kekerasan & konfrontasi dari berbagai sudut."

Seperti kita tahu demonstrasi di Amerika Serikat meningkat di puluhan kota di seluruh negeri karena luapan protes dan kemarahan aklibat kematian seorang pria kulit hitam dalam tahanan polisi yang dicekik dengan dengkul polisi sebelum meninggal.

Polisi di Minneapolis menerapkan jam malam dan menangkap para demostran setelah jam 8 malam. Polisi juga menembakkan gas air mata dan proyektil lainnya ke arah kerumunan massa, dan Pengawal Nasional Amerika Serikat menggunakan helikopter untuk menyemprotkan air guna mamadamkan api ke arah mobil yang terbakar.

Baca Juga: Di tengah aksi protes di Amerika, tiga polisi terluka akibat diserang

New York Times mencatat setidaknya ada delapan negara bagian, termasuk Georgia, Kentucky, Ohio, Colorado, dan Tennessee. Amerika Serikat telah mengerahkan pasukan Garda Nasional dalam upaya untuk menertibkan demonstran.

Di Tennessee, bangunan yang Balai Kota Nashville dibakar massa demonstran. Di Washington, pengunjuk rasa demonstran di Amerika Serikat membakar dan menghancurkan jendela-jendela bangunan di dekat Gedung Putih. Sementara di Philadelphia, Departemen Kepolisian mengatakan setidaknya 13 petugas terluka selama menangani protes.

Baca Juga: Trump kecele, Menhan AS ogah kerahkan pasukan atasi protes Minneapolis

Aksi demonstrasi di Amerika Serikat terus meningkat pada hari Jumat dan Sabtu memsskipun Derek Chauvin, Polisi Minneapolis yang didakwa sebagai pelaku pembunuhan telah diseret ke meja hijau. Derek Chauvin, tercatat sebagai pelaku yang mencekik leher Mr Floyd dengan lututnya sampai korban kehilangan kesadaran, dan meninggal dunia.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga telah minginstruksikan agar aparat keamanan bertindak keras kepada demonstran yang ia sebut sebagai preman.

Hasil otopsi independen

Dua orang dokter yang melakukan otopsi independen terkait kematian George Floyd, mengatakan pada hari Senin bahwa ia meninggal karena sesak napas dan kematiannya adalah aksi pembunuhan.

Melansir Reuters, para dokter juga mengatakan George Floyd tidak memiliki kondisi medis dasar yang berkontribusi pada kematiannya. Dijelaskan pula, ia kemungkinan meninggal sebelum dimasukkan ke dalam ambulan.

Hasil otopsi independen itu bertentangan dengan temuan awal otopsi resmi oleh Pemeriksa Medis Kabupaten Hennepin, yang dikutip dalam dokumen tuntutan pengadilan terhadap petugas polisi yang mendorong lututnya ke leher George Floyd selama beberapa menit.

Temuan awal itu mengatakan tidak ada bukti pencekikan traumatis. Ia juga mengatakan penyakit arteri koroner dan hipertensi juga kemungkinan berkontribusi pada kematian George Floyd. Laporan otopsi lengkap kabupaten belum dirilis. Kemudian pada hari Senin, pemeriksa medis menyatakan kematian George Floyd adalah pembunuhan.

Baca Juga: Ada tuduhan pidana baru, empat polisi Minneapolis dituntut atas kematian George Floyd

"Buktinya konsisten dengan asfiksia mekanik sebagai penyebab kematian dan pembunuhan sebagai cara kematian," kata Dr. Allecia Wilson dari University of Michigan, salah satu dari dua dokter forensik yang melakukan otopsi independen, kepada Reuters.

Dalam video yang beredar viral, tampak George Floyd memohon untuk menyerah dan mengatakan berulang kali bahwa dia tidak bisa bernapas ketika seorang perwira polisi Derek Chauvin menjjepit leher George Floyd dengan kuat selama hampir sembilan menit. Dua petugas lainnya menekan dengan lutut ke punggung George Floyd.

Chauvin, yang berkulit putih dan telah dipecat dari departemen kepolisian Minneapolis, ditahan dengan tuduhan pembunuhan tingkat tiga pada pekan lalu.

Akan tetapi, Dr. Michael Baden, yang juga mengambil bagian dalam otopsi independen atas perintah keluarga George Floyd, mengatakan bahwa tindakan dua petugas lainnya juga menyebabkan George Floyd berhenti bernapas.

Baca Juga: Amerika Serikat bergolak, SBY: Amerika, are you ok?

"Kita dapat melihat setelah kurang dari empat menit bahwa Floyd tidak bergerak, tidak bernyawa," kata Baden, menambahkan dia tidak menemukan kondisi kesehatan yang mendasari kematian George Floyd seperti yang dikutip Reuters.

Baden telah menangani beberapa kasus terkenal, termasuk kematian Eric Garner 2014, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah dicekik oleh polisi di New York City.

Baden menepis argumen bahwa jika George Floyd bisa bicara maka dia bisa bernafas.

"Banyak polisi mendapat kesan bahwa jika Anda dapat berbicara, itu berarti Anda bernafas. Itu tidak benar. Aku berbicara sekarang di depanmu dan tidak mengambil nafas,” kata Baden. 




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×