Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - GAZA/CAIRO. Keluarga Al-Shaer pergi tidur dalam keadaan lapar di rumah mereka di Kota Gaza. Sebuah serangan udara Israel menewaskan mereka saat tidur.
Keluarga tersebut terdiri dari jurnalis lepas Wala al-Jaabari, suaminya, dan lima anak mereka termasuk di antara lebih dari 100 orang yang tewas dalam 24 jam terakhir akibat serangan udara atau tembakan Israel, menurut pejabat kesehatan.
Jenazah mereka dibaringkan di luar rumah yang hancur dengan kain kafan putih, nama-nama mereka ditulis dengan pulpen. Darah merembes keluar, membasahi kain kafan dengan warna merah.
Baca Juga: Brasil Bergabung dalam Gugatan Genosida Israel di Gaza Bersama Afrika Selatan
“Ini sepupu saya. Usianya 10 tahun. Kami mengeluarkannya dari reruntuhan,” kata Amr al-Shaer sambil memeluk salah satu jenazah.
Iman al-Shaer, kerabat lain yang tinggal di dekatnya, mengatakan bahwa keluarga itu tidak sempat makan sebelum bom dijatuhkan.
“Anak-anak tidur tanpa makan,” ujarnya.
Militer Israel belum memberikan komentar langsung terkait serangan ke rumah keluarga tersebut, tetapi menyebut angkatan udaranya telah menyerang 120 target di seluruh Gaza dalam satu hari terakhir, termasuk "sel teroris, struktur militer, terowongan, bangunan jebakan, dan infrastruktur teroris lainnya."
Menurut keluarga korban, beberapa tetangga selamat hanya karena sedang keluar mencari makanan saat serangan terjadi.
Sepuluh warga Palestina lainnya dilaporkan meninggal karena kelaparan pada malam hari, kata Kementerian Kesehatan Gaza.
Jumlah korban tewas akibat kelaparan kini mencapai 111 orang, sebagian besar dalam beberapa pekan terakhir seiring meningkatnya krisis pangan di wilayah tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut 21 anak di bawah usia lima tahun termasuk di antara korban jiwa akibat kekurangan gizi tahun ini.
WHO menambahkan bahwa mereka tidak dapat mengirim bantuan makanan selama hampir 80 hari antara Maret hingga Mei, dan distribusi bantuan saat ini masih jauh dari cukup.
Baca Juga: Lebih dari 100 Lembaga Kemanusiaan Desak Aksi Global Saat Kelaparan Meluas di Gaza
Dalam pernyataan Rabu (23/7/2025) ini, sebanyak 111 organisasi termasuk Mercy Corps, Dewan Pengungsi Norwegia, dan Refugees International menyebut bahwa kelaparan massal sedang meluas.
Sementara ton bantuan makanan, air bersih, dan obat-obatan masih tertahan di luar Gaza karena akses yang diblokir.
Israel, yang menghentikan seluruh pasokan ke Gaza sejak Maret dan baru membuka kembali dengan pembatasan pada Mei, mengklaim tetap berkomitmen pada pengiriman bantuan, tetapi harus mengendalikannya agar tidak disalahgunakan kelompok militan.
Israel menyatakan telah mengizinkan cukup banyak makanan masuk ke Gaza dan menyalahkan Hamas atas penderitaan 2,2 juta penduduk Gaza.
Israel juga menuduh Perserikatan Bangsa-Bangsa lamban dalam bertindak, dengan menyatakan sekitar 700 truk bantuan kini menumpuk di dalam Gaza.
“Sudah saatnya mereka (PBB) mengambil bantuan itu dan berhenti menyalahkan Israel atas kemacetan yang terjadi,” kata juru bicara pemerintah Israel, David Mercer.
Namun PBB dan kelompok bantuan menilai Israel sebagai pihak yang mencekik akses pengiriman bantuan, karena mengendalikan seluruh pintu masuk dan keluar Gaza.
Baca Juga: Militer Israel Serang Rumah Staf dan Gudang Utama WHO di Gaza
Sejak Mei, pasukan Israel disebut telah menembak ratusan warga Palestina yang mendekati titik distribusi bantuan.
“Kami membutuhkan kondisi minimum untuk bisa beroperasi di dalam Gaza,” ujar Ross Smith, Direktur Penanganan Darurat dari Program Pangan Dunia (WFP) PBB.
“Salah satu hal terpenting yang ingin saya tekankan adalah bahwa kami tidak bisa beroperasi jika ada aktor bersenjata di sekitar titik distribusi atau konvoi bantuan.”
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa Israel kini hanya akan memberikan visa satu bulan kepada staf internasional dari Kantor Koordinasi Kemanusiaan PBB (OCHA).
Perundingan Damai Masih Mandek
Perang antara Israel dan Hamas telah berlangsung hampir dua tahun sejak kelompok Hamas membunuh sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera 251 orang dari Israel Selatan, serangan paling mematikan dalam sejarah Israel.
Israel kemudian membalas dengan menewaskan hampir 60.000 warga Palestina di Gaza, menghancurkan infrastruktur militer Hamas, meratakan sebagian besar wilayah tersebut, dan memaksa hampir seluruh penduduknya untuk mengungsi berulang kali.
Baca Juga: Vatikan Serukan Keadilan bagi Palestina usai Serangan ke Gereja Gaza
Utusan perdamaian AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, dijadwalkan melakukan perjalanan ke Eropa pekan ini untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata dan isu-isu lain terkait konflik Gaza, kata seorang pejabat AS.
Seorang pejabat Palestina yang terlibat dalam perundingan mengungkapkan bahwa Hamas telah menyampaikan tanggapannya terhadap proposal gencatan senjata kepada para mediator, namun enggan memberikan rincian lebih lanjut.
Perundingan yang dimediasi Qatar dan Mesir dengan dukungan Washington tersebut bertujuan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata selama 60 hari dan pembebasan sekitar 50 sandera yang masih ditahan di Gaza.
Beberapa putaran negosiasi sebelumnya belum menghasilkan terobosan sejak gencatan senjata sebelumnya gagal pada Maret lalu.
Presiden Israel Isaac Herzog mengatakan kepada pasukannya dalam kunjungan ke Gaza bahwa negosiasi intensif sedang berlangsung untuk membebaskan para sandera, dan ia berharap kabar baik segera datang.
Baca Juga: Lagi, Israel Bunuh 67 Warga Palestina yang Sedang Menunggu Truk Bantuan di Gaza
Seorang pejabat senior Palestina menyebut bahwa Hamas kemungkinan akan memberikan tanggapan kepada mediator di Doha pada hari Rabu, dengan syarat dilakukan amandemen atas dua poin utama yang masih menjadi ganjalan: rincian penarikan militer Israel dan mekanisme distribusi bantuan selama masa gencatan senjata.
Kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu didominasi oleh partai-partai sayap kanan yang menolak setiap kesepakatan yang tidak menghancurkan Hamas secara total.
"Begitu saya melihat tanda-tanda kelemahan dari perdana menteri, dan jika saya berpikir, semoga tidak, bahwa ini akan berakhir dengan kita menyerah, bukan dengan Hamas menyerah total, saya tidak akan bertahan di pemerintahan satu hari pun lagi," kata Menteri Keuangan Bezalel Smotrich kepada Army Radio.