Reporter: Dyah Megasari, The Economic Times, Der Spiegel |
BERLIN. Miliarder asal Amerika, George Soros mengecam Kanselir Jerman Angela Merkel terkait kebijakan-kebijakannya untuk mengeluarkan Uni Eropa dari krisis. Soros mengingatkan Merkel bahwa cara-cara yang ditempuh akhir-akhir ini bisa memicu terulangnya depresi besar.
"Saya mengagumi cara kepemimpinan Merkel, sayang ia membawa Eropa ke arah yang salah," tukasnya.
Salah satu kebijakan yang disoroti oleh pria berusia 82 tahun ini adalah usulan Jerman dalam mengatasi masalah keuangan dengan pemotongan anggaran belanja negara demi mendapatkan dana suntikan. Salah satu skema inilah yang disodorkan Troika ke Yunani.
"Dengan kata lain, Eropa akan mengulangi kesalahan yang menjerumuskan Amerika ke depresi besar tahun 1929. Hal inilah yang menurut saya kurang dimengerti Merkel," bebernya.
Saat itu, Presiden AS Franklin Roosevelt mengatasi krisis 1933 dengan kebijakan "New Deal" yang diinspirasi oleh ekonom asal Inggris yaitu John Keynes. Cara yang ditempuh adalah menggabungkan reformasi sistem perbankan dengan proyek-proyek infrastruktur besar.
Pria yang terlahir dengan nama György Schwartz itu juga mengingatkan, sejatinya Eropa bisa keluar krisis tanpa mengharapkan bantuan International Moentary Fund (IMF). Menurutnya, penawaran bailout ke Yunani dengan bunga yang sangat tinggi merupakan suatu kesalahan.
"Itu sebabnya, Yunani tak bisa diselamatkan saat ini. Hal yang sama juga bakal menimpa Italia jika menempatkan negara tersebut dalam kungkungan suku bunga yang tak masuk akal," jelasnya.
Standar penyelamatan Yunani bakal menyebabkan eskalasi krisis dan dapat menjalar ke Italia dan Spanyol. "Eropa akan meledak," Soros memperingatkan.
Wajar jika Soros berbicara lantang tentang potensi memburuknya situasi Eropa. Lahir 12 Agustus 1930 di Budapest, Hungaria, asam manis ekonomi politik sudah dicecapnya.
Ia terkenal sebagai seorang spekulan keuangan, investor saham, aktivis politik sekaligus dermawan di Amerika.
Soros yang merupakan Yahudi pernah dipenjara saat Perang Dunia II. Ia juga diduga menjadi dalang di belakang krisis ekonomi Asia yang terjadi pada 1997.