Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Jepang memastikan tetap melanjutkan rencana penempatan rudal di pangkalan militer dekat Taiwan, meski China menganggap langkah itu sebagai provokasi besar.
Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, mengunjungi pangkalan militer di Pulau Yonaguni yang hanya berjarak sekitar 11 km dari Taiwan, Minggu lalu. Di sana dia menegaskan bahwa rencana penguatan pertahanan tetap berjalan.
“Penempatan rudal ini justru dapat mengurangi risiko serangan terhadap Jepang,” kata Koizumi seperti yang dilansir The Independent.
Ia membantah anggapan bahwa langkah tersebut justru akan memperburuk ketegangan kawasan.
Koizumi juga bertemu dengan Wali Kota Yonaguni, Tsuneo Uechi, dan menyampaikan bahwa detail rencana penempatan rudal masih disusun. Pemerintah berjanji akan memberi informasi lengkap kepada warga jika rancangan final sudah siap.
Menurut Koizumi, kondisi keamanan Jepang saat ini adalah yang paling serius sejak akhir Perang Dunia II. Karena itu, ia menilai peningkatan kemampuan pertahanan sangat penting, terutama di tengah memburuknya hubungan Jepang–China. Ia juga menegaskan pentingnya dukungan warga setempat.
Baca Juga: AS Mulai Lepas dari China, Tapi Dunia Masih Terjebak Rare Earth Beijing
Sebagai bagian dari penguatan militernya, Jepang berencana menempatkan rudal permukaan-ke-udara jarak menengah di Yonaguni. Jika konflik China–Taiwan pecah, pulau ini akan menjadi salah satu garis pertahanan terdepan Jepang.
Ketegangan dua negara meningkat setelah Perdana Menteri baru Jepang, Sanae Takaichi, menyebut kemungkinan mengerahkan militer Jepang jika China menyerang Taiwan. Bagi Beijing, Taiwan adalah wilayah yang harus kembali berada di bawah kendalinya.
Pernyataan Takaichi memicu reaksi keras China, termasuk pelarangan impor makanan laut dari Jepang.
“Pemerintah Jepang secara terang-terangan menyampaikan niat campur tangan militer dalam isu Taiwan. Ini pernyataan yang tidak dapat diterima dan telah melewati garis merah,” kata Menteri Luar Negeri Wang Yi.
China bahkan mengirim surat resmi ke Sekjen PBB, António Guterres, yang menyebut sikap Jepang sebagai pelanggaran serius hukum internasional. Dalam surat itu, Duta Besar China untuk PBB, Fu Cong, menegaskan: “Jika Jepang berani ikut campur secara militer, itu adalah tindakan agresi. China akan menggunakan hak membela diri untuk melindungi kedaulatan dan wilayahnya.”
Baca Juga: Babak Baru Perang Ukraina: Damai Tinggal Selangkah Lagi?
Tokyo membalas dengan menyebut klaim China “sepenuhnya tidak dapat diterima” dan menegaskan komitmen Jepang pada perdamaian.
Di sela-sela KTT G20 di Afrika Selatan, Takaichi dan PM China Li Qiang berada di tempat yang sama namun tidak saling bicara. Setelah acara, Takaichi menyatakan Jepang tetap terbuka untuk berdialog, namun tetap harus tegas dalam menyampaikan keberatan bila diperlukan.
Pulau Yonaguni sendiri berada di ujung Kepulauan Ryukyu — wilayah yang dahulu menjadi pusat perdagangan Jepang, China, dan Asia Tenggara sebelum Jepang mengambil alih pada 1879. Pada 2022, sebuah rudal China jatuh di perairan dekat Yonaguni ketika Beijing menggelar latihan militer setelah kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan.
Situasi ini membuat warga setempat khawatir daerah mereka bisa menjadi medan konflik bila perang meletus di Selat Taiwan. Ketika ditanya soal potensi risiko itu, Koizumi menghindari jawaban langsung dan menyatakan tidak ingin berspekulasi soal skenario terburuk.
Tonton: China Ketar-Ketir Jepang Pasang Sistem Rudal di Dekat Taiwan
Kesimpulan
Rencana Jepang menempatkan rudal di Yonaguni memperdalam ketegangan dengan China, terutama setelah Perdana Menteri Takaichi membuka kemungkinan intervensi militer jika Taiwan diserang. Beijing menilai langkah itu sebagai ancaman serius dan pelanggaran hukum internasional, sementara Tokyo menganggapnya sebagai upaya mempertahankan diri di tengah situasi keamanan yang semakin rumit. Dengan posisi geografis yang sangat dekat dengan Taiwan, langkah ini menjadikan Yonaguni bukan hanya simbol perlindungan, tetapi juga titik paling rawan jika konflik benar-benar pecah di kawasan Asia Timur.













