kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.602   0,00   0,00%
  • IDX 7.958   41,98   0,53%
  • KOMPAS100 1.098   7,43   0,68%
  • LQ45 780   8,04   1,04%
  • ISSI 281   -0,43   -0,15%
  • IDX30 407   5,88   1,47%
  • IDXHIDIV20 459   5,85   1,29%
  • IDX80 122   0,79   0,65%
  • IDXV30 129   0,62   0,48%
  • IDXQ30 129   1,59   1,25%

Ini Alasan Mengapa AS Ketar Ketir dengan Kebijakan Larangan Ekspor Rare Earth China


Jumat, 17 Oktober 2025 / 08:41 WIB
Ini Alasan Mengapa AS Ketar Ketir dengan Kebijakan Larangan Ekspor Rare Earth China
ILUSTRASI. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas setelah sempat mereda selama beberapa bulan—kali ini soal logam tanah jarang atau rare earths. REUTERS/Melanie Burton


Sumber: BBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas setelah sempat mereda selama beberapa bulan—kali ini soal logam tanah jarang atau rare earths.

China memegang kendali hampir penuh atas pasokan mineral yang digunakan untuk membuat mobil listrik, perangkat elektronik, hingga senjata militer. Negeri Panda itu memperketat aturan ekspor logam langka dalam beberapa bulan terakhir. Kini, perusahaan yang ingin mengekspor logam tersebut dari China harus mendapat izin langsung dari pemerintah.

Kebijakan ini menjadi pukulan besar bagi AS, yang industrinya sangat bergantung pada pasokan impor logam langka dari China.

Analis menilai, Beijing sedang memanfaatkan dominasinya atas logam langka ini sebagai senjata tawar-menawar utama dalam perang dagang dengan Washington.

Baca Juga: Taiwan Sebut Logam Tanah Jarang yang Dilarang Ekspor China Bukan Untuk Semikonduktor

Apa Itu Logam Tanah Jarang?

Melansir BBC, logam tanah jarang terdiri dari 17 unsur kimia yang sangat penting dalam pembuatan berbagai produk teknologi tinggi.
Meski sebenarnya cukup melimpah di alam, unsur-unsur ini sulit ditemukan dalam bentuk murni dan proses ekstraksinya sangat berbahaya bagi lingkungan.

Kita mungkin tak akrab dengan nama-namanya—seperti neodymium, yttrium, atau europium—tetapi hampir semua perangkat modern kita bergantung pada mereka.

Misalnya, neodymium digunakan untuk membuat magnet superkuat pada pengeras suara, hard disk komputer, motor mobil listrik, dan mesin jet.

Sementara yttrium dan europium dipakai untuk membuat layar televisi dan komputer karena mampu menampilkan warna dengan sangat jelas.

Baca Juga: China Tekan India: Magnet Tanah Jarang Tak Boleh Diekspor ke AS

“Segala sesuatu yang bisa dinyalakan dan dimatikan kemungkinan besar menggunakan logam tanah jarang,” ujar Thomas Kruemmer, Direktur Ginger International Trade and Investment.

Logam tanah jarang juga berperan penting dalam teknologi medis seperti operasi laser dan MRI, serta industri pertahanan.

China Kuasai Rantai Pasokan Dunia

China menguasai hampir seluruh rantai pasokan logam tanah jarang—mulai dari penambangan hingga pemurnian.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), China memproduksi sekitar 61% logam tanah jarang dunia dan mengolah 92% di antaranya.

“Limbah radioaktif dari proses produksi benar-benar membutuhkan pembuangan permanen yang aman. Saat ini, semua fasilitas pembuangan di Uni Eropa bersifat sementara,” kata Kruemmer.

Dominasi ini bukan terjadi tiba-tiba. Sejak 1990-an, China secara sistematis berinvestasi besar-besaran di sektor ini, sering kali dengan standar lingkungan dan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibanding negara lain.

Mantan pemimpin China Deng Xiaoping bahkan pernah berkata:

“Timur Tengah punya minyak, dan China punya logam tanah jarang.”

Baca Juga: China Perketat Izin Ekspor Magnet Tanah Jarang, Pasokan Global Terancam Seret

Pembatasan Ekspor: Strategi Tekanan

Sejak AS memberlakukan tarif baru pada April, China menanggapi dengan membatasi ekspor tujuh jenis logam tanah jarang, sebagian besar tergolong heavy rare earths yang sangat penting untuk industri pertahanan.

Kini, semua perusahaan harus mendapatkan izin ekspor khusus jika ingin mengirim logam atau magnet berbasis logam langka ke luar negeri.
Bahkan perusahaan asing yang beroperasi di China kini wajib menjelaskan tujuan penggunaan logam itu sebelum mendapat persetujuan pemerintah.

Menurut laporan CSIS, AS sangat rentan karena tidak memiliki kapasitas pengolahan logam tanah jarang berat di luar China.

Dampak ke Amerika Serikat

Laporan Geologi AS mencatat, antara 2020–2023, sekitar 70% impor logam tanah jarang AS berasal dari China.

Artinya, setiap pembatasan dari Beijing berpotensi mengguncang industri AS—mulai dari manufaktur hingga pertahanan.

Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut kebijakan China sebagai bentuk “pemaksaan ekonomi dan upaya menguasai rantai pasokan global”.

Lapisan “heavy rare earths” ini digunakan di berbagai teknologi militer seperti jet tempur F-35, rudal Tomahawk, dan drone Predator.

Selain sektor militer, industri manufaktur AS—yang selama ini menjadi fokus kebijakan ekonomi Trump—juga terancam kekurangan bahan baku.

“Produsen, terutama di sektor pertahanan dan teknologi tinggi, bisa menghadapi kelangkaan dan keterlambatan produksi,” ujar Dr. Gavin Harper dari Universitas Birmingham.

Harga bahan mentah juga diperkirakan melonjak, mendorong kenaikan biaya produksi berbagai barang mulai dari ponsel hingga perangkat militer.

Trump sendiri telah memerintahkan penyelidikan keamanan nasional terkait ketergantungan AS pada logam langka.

“Ketergantungan berlebihan pada mineral kritis dari luar negeri dapat membahayakan kemampuan pertahanan dan ketahanan ekonomi AS,” tulis perintah tersebut.

Tonton: Tiongkok Batasi Ekspor Tanah Jarang, Trump Meradang dan Langsung Getok Tarif 100%!

Mengapa AS Tidak Bisa Produksi Sendiri?

AS memang memiliki satu tambang logam langka yang masih beroperasi, tetapi tidak punya fasilitas pemisahan logam berat. Bijih mentahnya pun masih harus dikirim ke China untuk diproses.

Padahal, pada 1980-an AS pernah menjadi produsen logam langka terbesar di dunia sebelum akhirnya kalah bersaing karena biaya produksi lebih tinggi.

Karena itu, Trump kini mencari sumber alternatif—mulai dari Ukraina hingga Greenland, yang diketahui memiliki cadangan logam langka terbesar kedelapan di dunia.

Namun, pendekatan agresif Trump terhadap negara-negara tersebut justru bisa mempersulit kerja sama baru.

“AS menghadapi dua masalah besar: memusuhi China yang menjadi pemasok utama, sekaligus menjauhkan diri dari negara-negara yang sebelumnya merupakan mitra potensial,” kata Dr. Harper.

Selanjutnya: Warren Buffett: Panduan Investasi Bijak untuk Pemula

Menarik Dibaca: IHSG Berpotensi Koreksi, Cek Rekomendasi Saham BNI Sekuritas Hari Ini (17/10)




TERBARU

[X]
×