Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Pertumbuhan ekonomi China melambat ke level terendah dalam setahun pada kuartal III 2025, ketika lemahnya permintaan domestik membuat negeri itu kembali bergantung pada sektor ekspor.
Kondisi ini memicu kekhawatiran atas ketidakseimbangan struktural yang semakin dalam.
Reuters melaporkan, data yang dirilis Biro Statistik Nasional China menunjukkan ekonomi tumbuh 4,8% secara tahunan, sesuai ekspektasi pasar dan cukup untuk menjaga target pertumbuhan sekitar 5% tahun ini. Namun, ketergantungan pada permintaan luar negeri di tengah memanasnya perang dagang dengan Amerika Serikat menimbulkan pertanyaan apakah laju ini dapat dipertahankan.
Beijing kemungkinan akan menggunakan capaian tersebut sebagai simbol ketahanan ekonomi dalam pembicaraan antara Wakil Perdana Menteri He Lifeng dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent di Malaysia pekan ini, menjelang potensi pertemuan antara Presiden Donald Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan.
Namun di dalam negeri, kekuatan ekspor itu menutupi lemahnya konsumsi. Permintaan lokal yang lesu memaksa produsen Tiongkok bersaing ketat di pasar luar negeri melalui perang harga, yang pada akhirnya menekan profitabilitas.
Jeremy Fang, staf penjualan di produsen aluminium asal China, mengungkap perusahaannya kehilangan sekitar 20% pendapatan. Lonjakan penjualan ke Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, Turki, dan Timur Tengah tidak cukup menutupi penurunan pesanan 80%–90% dari Amerika Serikat.
Baca Juga: Lawan China, AS dan Australia Bakal Investasi US$ 2 Miliar untuk Mineral Kritis
“Kita harus benar-benar kompetitif dalam hal harga,” ujarnya. “Kalau harga kamu US$ 100 dan pembeli menawar, lebih baik turunkan US$ 10–US$ 20 daripada kehilangan pesanan. Tidak bisa ragu.”
Persaingan harga yang brutal ini memicu efek domino di dalam negeri. Banyak perusahaan harus memangkas gaji bahkan jumlah tenaga kerja demi bertahan.
Produksi industri memang naik 6,5% (yoy) pada September — tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan melampaui ekspektasi. Namun, penjualan ritel justru melambat ke 3,0%, terendah dalam 10 bulan.
Harga rumah baru juga turun dengan laju tercepat dalam 11 bulan, sementara investasi di sektor properti anjlok 13,9% dalam sembilan bulan pertama tahun ini.
“Pertumbuhan China kini semakin bergantung pada ekspor untuk menutupi lemahnya permintaan domestik,” kata Julian Evans-Pritchard, analis Capital Economics. “Pola seperti ini tidak berkelanjutan. Tanpa langkah konkret untuk memperkuat konsumsi rumah tangga, laju ekonomi akan melambat lebih jauh.”
Baca Juga: Turki Bangun Tambang Raksasa Logam Tanah Jarang, Siap Saingi China
Fokus Rencana Lima Tahun Terbaru
Seruan agar Beijing melakukan reformasi struktural demi memperkuat konsumsi domestik semakin keras menjelang rapat penting Partai Komunis pekan ini. Forum elite tersebut akan membahas arah pembangunan ekonomi dalam rencana lima tahun mendatang.
Meski kemungkinan akan muncul janji memperkuat permintaan domestik, Beijing juga diperkirakan akan menekankan pentingnya terobosan teknologi dan modernisasi industri sebagai prioritas keamanan nasional.
Arah ini bisa membuat aliran sumber daya ekonomi tetap berpihak pada sektor manufaktur, bukan rumah tangga. Padahal, perubahan model pertumbuhan menuju konsumsi domestik akan membantu meredakan ketegangan dagang dan menjadikan China penyumbang permintaan global yang lebih besar.
Untuk saat ini, Beijing belum menunjukkan tanda akan melunak di sektor industri. Sebaliknya, China berhasil memperluas pasar ekspor ke luar AS: penjualan ke Amerika Serikat turun 27% (yoy) bulan lalu, tetapi ekspor ke Uni Eropa naik 14%, ke Asia Tenggara 15,6%, dan ke Afrika melonjak 56,4%.
China juga memanfaatkan dominasinya dalam produksi logam tanah jarang (rare earths) sebagai alat tawar terhadap Washington. Langkah ini memicu ancaman baru dari Presiden Trump untuk menaikkan tarif hingga 100 poin persentase, yang setara dengan embargo perdagangan terselubung antara dua ekonomi terbesar dunia.
Baca Juga: Ekonomi China Jatuh ke Level Terendah
Namun, sebagian analis menilai Beijing merasa lebih siap menanggung dampaknya.
“Secara relatif, posisi China lebih kuat daripada AS,” kata Yuan Yuwei, manajer hedge fund di Water Wisdom Asset Management. “Pekerja di China mungkin harus hidup lebih hemat, tapi mereka jarang turun ke jalan. Di AS, pemotongan gaji 10–20% saja bisa memicu protes besar. China bisa bertahan lebih lama.”
Apakah Butuh Stimulus Tambahan?
Secara keseluruhan, ekonomi China tumbuh 5,2% sepanjang Januari–September 2025. Jika pada kuartal IV terlihat tanda-tanda pelemahan, pemerintah memiliki opsi mempercepat investasi infrastruktur. Apalagi, mereka telah mulai mempercepat penerbitan obligasi untuk tahun 2026.
Investasi aset tetap tercatat turun 0,5% (yoy) selama sembilan bulan pertama — memberi ruang untuk ekspansi tambahan.
Beberapa analis menilai stimulus tambahan tidak mendesak karena target pertumbuhan tahunan masih dalam jangkauan. Namun, sebagian lainnya menilai masih ada alasan kuat untuk mendukung sektor-sektor yang tertinggal.
Tonton: Ekonomi China Kian Melambat, Pertumbuhan Kuartal III Terendah di 2025!
“Karena target pertumbuhan tampaknya akan tercapai, urgensi kebijakan bisa berkurang,” ujar Lynn Song, Kepala Ekonom Greater China di ING. “Namun lemahnya kepercayaan konsumen, rendahnya investasi, dan penurunan harga properti tetap perlu segera ditangani.”













