Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - NEW YORK/WASHINGTON. Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mencabut seluruh sanksi terhadap Suriah saat kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi pada Selasa (13/5) mengejutkan banyak pihak, termasuk para pejabat dalam pemerintahannya sendiri.
Langkah yang diumumkan langsung oleh Trump ini akan membuka jalan bagi pemulihan ekonomi Suriah setelah 13 tahun dilanda perang.
Namun, kebijakan tersebut datang tanpa pemberitahuan resmi kepada Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan AS—dua institusi yang selama ini mengelola dan menerapkan rezim sanksi terhadap negara tersebut.
Baca Juga: Dikunjungi Trump, Qatar Borong 160 Jet Boeing Senilai US$ 200 Miliar
Sejumlah pejabat senior di Washington mengaku tidak menerima arahan apa pun terkait pencabutan sanksi sebelum pengumuman Trump.
“Tidak ada memo, tidak ada sinyal. Kami benar-benar terkejut,” ujar salah satu pejabat senior AS kepada Reuters.
Keputusan tersebut mencerminkan pola khas Trump: keputusan mendadak, pengumuman dramatis, dan kebingungan di internal pemerintahan sendiri.
Bahkan setelah Trump bertemu dengan Presiden Suriah sementara, Ahmed al-Sharaa, di Riyadh keesokan harinya, para pejabat terkait di AS masih belum mendapat kejelasan mengenai langkah teknis yang harus diambil untuk mencabut sanksi.
Sebelumnya, Trump menyampaikan bahwa keputusan tersebut diambil atas permintaan Arab Saudi dan Turki, serta sebagai bagian dari “kesempatan memberi masa depan yang lebih baik” bagi Suriah.
Baca Juga: Orang Terkaya Asia Ini Temui Donald Trump dan Emir Qatar di Doha, Ada Apa?
Proses Rumit
Meski diumumkan secara sepihak, pelaksanaan pencabutan sanksi terhadap Suriah tidak akan mudah.
Sanksi AS terhadap Suriah telah diberlakukan sejak 1979 dan diperluas secara signifikan pasca-pemberontakan terhadap rezim Bashar al-Assad pada 2011.
“Pencabutan sanksi bukan proses sederhana, apalagi untuk negara seperti Suriah yang menghadapi berbagai lapis pembatasan, dari sektor perbankan internasional hingga pelarangan impor,” kata Edward Fishman, mantan pejabat AS dan penulis buku Chokepoints.
Salah satu tantangan terbesar adalah Caesar Syria Civilian Protection Act atau Undang-Undang Caesar yang disahkan tahun 2019 dan diperpanjang pada akhir tahun lalu, tak lama setelah jatuhnya rezim Assad.
Baca Juga: Ahmed al-Sharaa, Eks Komandan al-Qaeda, Bertemu Trump Setelah Jadi Pemimpin Suriah
Undang-undang ini menjatuhkan sanksi ketat terhadap entitas yang berhubungan dengan pemerintah Suriah dan juga mencakup sanksi sekunder terhadap pihak ketiga.
Trump memiliki wewenang untuk menangguhkan sebagian sanksi atas alasan keamanan nasional atau dengan menerbitkan lisensi umum (general license), namun penghapusan total sanksi memerlukan campur tangan Kongres.
Lobi Politik di Balik Layar
Menurut Jonathan Schanzer dari Foundation for Defense of Democracies, pejabat Suriah telah melakukan lobi ke Washington sejak bulan lalu untuk meminta pencabutan total sanksi.
Namun, keputusan Trump tetap mengejutkan karena tak ada indikasi sebelumnya bahwa perubahan kebijakan sudah disepakati di level internal Gedung Putih.
Dalam pertemuannya dengan al-Sharaa, Trump dilaporkan menetapkan beberapa syarat sebagai imbal balik atas pencabutan sanksi, seperti mengusir kelompok teroris asing dari wilayah Suriah, mendeportasi “teroris Palestina,” dan membantu AS mencegah kebangkitan ISIS.
Baca Juga: Trump Cabut Sanksi Suriah dan Raih Investasi Raksasa dari Arab Saudi
Fishman memperkirakan tidak semua sanksi akan dihapus. “Akan ada entitas atau individu yang tetap masuk daftar hitam karena alasan khusus, seperti keterkaitan langsung dengan aktivitas terorisme,” katanya.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Departemen Luar Negeri maupun Departemen Keuangan terkait teknis implementasi keputusan tersebut.