kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.915.000   44.000   2,35%
  • USD/IDR 16.400   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.142   47,86   0,67%
  • KOMPAS100 1.041   10,44   1,01%
  • LQ45 812   9,62   1,20%
  • ISSI 224   0,88   0,39%
  • IDX30 424   4,46   1,06%
  • IDXHIDIV20 504   1,88   0,37%
  • IDX80 117   1,34   1,15%
  • IDXV30 119   0,16   0,14%
  • IDXQ30 139   1,43   1,04%

Iran Hadapi AS Tanpa Rencana Cadangan dalam Ketegangan Nuklir


Rabu, 21 Mei 2025 / 06:15 WIB
Iran Hadapi AS Tanpa Rencana Cadangan dalam Ketegangan Nuklir
ILUSTRASI. Para peserta memegang bendera dari Iran dan Amerika Serikat saat orang-orang Iran Amerika dari seluruh California berkumpul di Los Angeles untuk berpartisipasi dalam Konvensi California untuk Iran yang Bebas dan untuk menyatakan dukungan atas protes nasional di Iran dari Los Angeles, California, AS, 11 Januari 2020.


Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - DUBAI/PARIS. Di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) terkait pengayaan uranium, tiga sumber Iran menyatakan bahwa kepemimpinan negara itu tidak memiliki rencana cadangan yang jelas apabila upaya penyelesaian sengketa nuklir yang telah berlangsung selama puluhan tahun gagal.

Menurut ketiga sumber tersebut, Iran kemungkinan akan mengandalkan hubungan dengan China dan Rusia sebagai alternatif jika negosiasi menemui jalan buntu. Namun, hubungan Teheran dengan Beijing dan Moskow dinilai rapuh di tengah ketegangan perdagangan China-AS dan keterlibatan Rusia dalam perang di Ukraina.

"Rencana B adalah melanjutkan strategi sebelum dimulainya perundingan. Iran akan menghindari meningkatnya ketegangan, ia siap untuk mempertahankan diri," kata seorang pejabat senior Iran. "Strategi tersebut juga mencakup penguatan hubungan dengan sekutu seperti Rusia dan China."

Baca Juga: Iran dan AS Siap Lanjutkan Perundingan Nuklir di Roma untuk Akhiri Kebuntuan Panjang

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada hari Selasa menolak tuntutan Amerika Serikat untuk menghentikan pengayaan uranium. Ia menyebut tuntutan tersebut “berlebihan dan keterlaluan”, dan memperingatkan bahwa negosiasi kemungkinan tidak akan menghasilkan kesepakatan.

Setelah empat putaran perundingan yang bertujuan membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi, masih terdapat sejumlah hambatan. 

Dua pejabat Iran dan seorang diplomat Eropa mengungkapkan bahwa Teheran menolak mengirim seluruh persediaan uranium yang telah diperkaya ke luar negeri dan enggan membahas program rudal balistiknya.

Selain itu, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir 2015 juga menambah ketidakpercayaan antara kedua pihak. Iran menuntut jaminan agar Washington tidak akan mengingkari kesepakatan lagi di masa mendatang.

Baca Juga: Misi Ambisius! China dan Rusia Berencana Bangun Pusat Energi Nuklir di Bulan

Iran juga menghadapi tantangan domestik yang serius, termasuk krisis energi dan air, anjloknya mata uang nasional, kerugian militer dari sekutu regional, serta kekhawatiran akan potensi serangan Israel terhadap fasilitas nuklirnya—semuanya diperparah oleh kebijakan garis keras Trump.

Sejak Trump melanjutkan kampanye “tekanan maksimum” terhadap Teheran pada Februari lalu, termasuk sanksi ketat dan ancaman militer, para sumber mengatakan Iran merasa tidak memiliki alternatif yang lebih baik selain mencapai kesepakatan baru guna menghindari krisis ekonomi yang bisa mengancam stabilitas pemerintahan.

Protes nasional dalam beberapa tahun terakhir atas tekanan sosial dan kesulitan ekonomi telah menunjukkan kerentanan Republik Islam terhadap kemarahan publik. Aksi unjuk rasa tersebut juga mendorong sanksi hak asasi manusia dari negara-negara Barat.

"Tanpa mencabut sanksi untuk memungkinkan penjualan minyak bebas dan akses ke dana, ekonomi Iran tidak dapat pulih," ujar seorang pejabat Iran lainnya yang enggan disebutkan namanya karena sensitivitas isu ini.

Baca Juga: Khamenei Kecam Tuntutan AS dalam Perundingan Nuklir: Berlebihan dan Tidak Masuk Akal

Kementerian Luar Negeri Iran belum memberikan tanggapan atas pernyataan-pernyataan ini.

Sementara itu, Wendy Sherman, mantan Wakil Menteri Urusan Politik AS yang memimpin perundingan kesepakatan nuklir 2015, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin untuk meyakinkan Teheran membongkar program nuklirnya.

"Jadi itu berarti mereka akan menemui jalan buntu, dan bahwa kita akan menghadapi potensi perang, yang menurut saya, sejujurnya, tidak diharapkan oleh Presiden Trump karena ia telah berkampanye sebagai presiden perdamaian," katanya.

Walaupun persoalan pengayaan uranium bisa disempitkan, isu pencabutan sanksi tetap menjadi penghalang. AS hanya mendukung pencabutan sanksi terkait nuklir, sementara Teheran menuntut penghapusan seluruh sanksi secara segera.

Sejak 2018, puluhan lembaga penting Iran termasuk bank sentral dan perusahaan minyak nasional dikenai sanksi karena dituduh mendukung terorisme atau penyebaran senjata.

Sherman menambahkan bahwa jika negosiasi gagal, Iran kemungkinan besar akan terus menghindari sanksi dan menjual minyak, terutama ke China, serta mungkin ke India dan negara-negara lain.

Meski China menjadi pembeli utama minyak Iran, tekanan dari pemerintahan Trump terhadap entitas perdagangan dan kapal tanker China membahayakan ekspor tersebut.

Baca Juga: Iran dan AS Lanjutkan Perundingan Nuklir di Tengah Batas Merah yang Bertolak Belakang

Analis memperingatkan bahwa dukungan China dan Rusia memiliki batas, karena Beijing menginginkan diskon besar dan berupaya menurunkan harga seiring pelemahan permintaan global.

Jika negosiasi tidak membuahkan hasil, baik China maupun Rusia tidak akan mampu melindungi Iran dari sanksi sepihak AS dan Uni Eropa.

Prancis, Inggris, dan Jerman juga telah memperingatkan bahwa mereka dapat memberlakukan kembali sanksi PBB jika tidak ada kesepakatan dalam waktu dekat.

Berdasarkan resolusi PBB tahun 2015, ketiga negara Eropa tersebut memiliki waktu hingga 18 Oktober untuk mengaktifkan "mekanisme snapback" sebelum masa berlaku resolusi berakhir.

Baca Juga: Negosiasi Nuklir AS-Iran: Trump Klaim Kesepakatan Kian Dekat!

Menurut dokumen yang diperoleh Reuters dan pernyataan sejumlah diplomat, negara-negara E3 dapat mengaktifkan mekanisme tersebut pada bulan Agustus jika belum tercapai kesepakatan substantif saat itu.

Seorang pejabat senior Eropa menambahkan, "Tidak ada alasan untuk mengira ini akan memakan waktu lebih sedikit dibandingkan 18 bulan pada tahun 2013 terutama ketika parameter dan situasi geopolitik sekarang lebih rumit."

Selanjutnya: Petrindo Jaya (CUAN) akan Stock Split, Intip Prospek Sahamnya

Menarik Dibaca: 6 Olahraga yang Paling Cepat Membakar Kalori Termasuk Jalan Kaki




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×