Sumber: CNN | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembuat kebijakan di Federal Reserve (The Fed) kini terbelah dalam menentukan arah suku bunga, menandai berakhirnya era konsensus yang selama ini menjadi ciri kepemimpinan Jerome Powell.
Perpecahan itu kembali terlihat pada keputusan akhir Oktober, ketika The Fed memangkas suku bunga seperempat poin. Dua pejabat memilih berseberangan: satu ingin suku bunga tetap, sementara satu lainnya menginginkan pemangkasan lebih besar.
Situasi dengan dua dissenting votes berlawanan ini terakhir terjadi pada 2019.
Baca Juga: The Fed Kembali Pangkas Suku Bunga, Tapi Sinyal Desember Masih Abu-Abu
Perbedaan pandangan makin menonjol dalam berbagai pidato publik para pejabat The Fed belakangan ini. Para analis menilai dinamika ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi Amerika Serikat, terutama terkait dampak kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump.
Di satu sisi, sebagian pejabat meyakini tarif bisa mendorong inflasi sehingga fokus harus tetap pada pengendalian harga. Di sisi lain, ada yang menilai pasar tenaga kerja melemah dan pemangkasan suku bunga perlu dipercepat.
Ekonom LHMeyer, Derek Tang, menilai perpecahan ini dapat berdampak pada efektivitas dan kredibilitas The Fed. Ia bahkan memperingatkan kemungkinan The Fed bertransformasi seperti Mahkamah Agung, dengan pola suara yang terbentuk oleh garis ideologis.
Sebagai Ketua The Fed sekaligus pimpinan komite penentu suku bunga, Powell menghadapi situasi paling menantang sepanjang masa jabatannya.
Sejak era Ben Bernanke, peran Ketua The Fed semakin kuat dalam membangun kesepakatan lewat komunikasi intensif dengan tujuh anggota Dewan Gubernur dan 12 presiden bank sentral regional. Namun, menurut pengamat lama The Fed, Jon Hilsenrath, keretakan kali ini muncul di luar kendali Powell.
Baca Juga: The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga, Meski Trump Desak Pemangkasan Tajam
Dalam konferensi pers usai keputusan Oktober, Powell mengakui adanya “perbedaan pandangan yang sangat kuat” di internal. Dissent diperkirakan berlangsung hingga masa jabatannya berakhir pada Mei mendatang.
Ketidakpastian itu membuat pelaku pasar kesulitan membaca arah kebijakan, dengan probabilitas pemangkasan suku bunga Desember masih setara lemparan koin.
Kondisi ekonomi AS kini jauh lebih rumit dibanding masa pandemi 2020 atau lonjakan inflasi 2022, ketika arah kebijakan relatif jelas. Namun, menurut Hilsenrath, perbedaan pandangan dapat sekaligus membawa manfaat karena mencegah keputusan ekstrem yang bisa mengguncang ekonomi atau sistem keuangan.
Di tengah perdebatan itu, asesmen ekonomi semakin sulit dilakukan setelah penutupan pemerintahan AS yang panjang sempat menghentikan publikasi data penting seperti inflasi dan ketenagakerjaan. Dengan data mulai mengalir kembali, arah kebijakan berikutnya sangat bergantung pada rilis selanjutnya.













